Chapter 2 | Fighting 📌

1.7K 123 17
                                    

"Kamu bisa ikut gak sekarang?" tanya Edwin kepada istrinya yang sedang menghias wajahnya di meja rias.

"Kemana?" tanya Ira tanpa mengalihkan pandangannya. Tangannya sibuk mengaplikasikan berbagai macam skincare dan kawan-kawannya agar wajahnya terlihat cantik.

"Ke rumah sakit. Kita akan mengecek perkembangan Dara," ujar Edwin penuh harap, ia sangat berharap istrinya mau ikut meskipun cuman sekali saja.

Ira menutup bedak yang berada di tangannya, "Maaf, kak. Hari ini aku gak bisa. Udah ada janji sama temen."

"Oh. Gak bisa ditunda ya? Aku harap kamu ikut."

Ira meraih tas selempang berwarna navy di samping meja, "Gak bisa. Soalnya temen-temenku pada sibuk kuliah, jadinya hanya hari ini yang bisa ngumpul bareng," ucap Ira dengan menekankan kata kuliah.

Edwin mengangguk anggukkan kepala. Dia peka dengan kode yang diberikan istrinya. Siapa sih yang gak pengen kuliah? Setiap orang pasti mempunyai keinginan seperti itu, "Baiklah, minggu depan kamu ikut ya ngecek Dara" pinta Edwin.

"Iya iya. Aku berangkat ya," ucap Ira tak lupa mencium tangan suaminya.

"Hati-hati di jalan. Jangan lupa jaga hati." Pesan Edwin sebelum Ira berangkat pergi.

Setelah kepergian Ira, Edwin tersenyum ke arah putrinya, "Dara sayang. Hari ini sama Papa saja ya, lain kali Mama akan ikut kok."

Dara tersenyum menanggapi ucapan Papanya, kedua tangannya menepuk-nepuk layaknya sedang bertepuk tangan.

***

"Ayo Dara, semangat." Edwin memberikan dukungan pada anaknya.

Hari ini Dara akan menjalani fisioterapi. Edwin berharap dengan usahanya ini dia bisa mengembalikan Dara menjadi anak yang normal. "Appah appah," ucap Dara sambil menepuk-nepuk tangannya.

"Bukan appah sayang, tapi papa,"ucap Edwin membenarkan.

Suster yang mendampingi Dara pun terkekeh geli. Baru kali ini dia melihat seorang ayah yang begitu muda.
"Maaf mas, mungkin anaknya mau manggil papanya dengan bahasa korea."

"Korea? Jadi appa itu artinya papa?" tanya Edwin terkejut.

"Iya, mas. Anak kamu unik loh, meskipun terkena angelman syndrome, dia tidak seperti penderita yang lain. Biasanya balita yang terkena angelman syndrome tidak bisa mengucapkan sepatah katapun," ungkap suster berperawakan tinggi tersebut.

"Jadi anak saya ada harapan sembuh, sus?" tanya Edwin dengan penuh harap.

"Itu tidak bisa, mas. Penyakit ini akan dibawa seumur hidup. Tapi jika Dara dilatih terus, kemungkinan dia akan bisa terlihat normal."

Edwin menghela nafas panjang,
"Saya harap ada mukjizat dari Tuhan."

"Semoga saja ya."

Meskipun Dara memiliki kekurangan yang membuatnya berbeda dengan yang lain tak menyurutkan niat Edwin agar putri kecilnya itu bisa mengenyam pendidikan. Setidaknya meskipun anaknya memiliki kekurangan, dia masih memiliki ilmu yang berguna kelak di masa depannya.

Dara akan menjalani terapi ini setiap hari, hingga dia beransur-ansur mulai membaik. Setelah membaik Dara hanya perlu chek up seminggu sekali.

"Papa sangat mencintaimu Dara. Cepatlah membaik."

***

"Lo kenapa gak kuliah, ra?" tanya Dwi tiba-tiba.

"Kalian pada tau lah sekarang gue udah punya anak. Sibuk banget gak bisa," ucap Ira membohongi teman-temannya, dia tak ingin imagenya turun begitu saja ketika temannya tau keadaannya sekarang.

"Sibuk? Lah kenapa sekarang bisa ngumpul?" tanya Vina heran.

Ira gelagapan mendengar pertanyaan dari Vina. "Ya kalau hari ini kebetulan suami gue lagi gak ngantor. Biasa lah CEO kan bebas liburnya kapan."

"Anjir suami lu om-om, ra?"

"Om-om pala lu gesrek. Enggak lah, suami gue itu tampan syekali," ucap Ira dengan nada kesombongan.

Ira malu mengakui kepada teman-temannya kalau Edwin sekarang berhenti dari perusahaan orang tuanya. Dulu waktu mereka baru menikah Ira dengan bangganya memamerkan kekayaan Edwin ke teman-temannya.

"Eh gens, kalian ingat gak sama Vozi?" celetuk Vina mengubah topik pembicaraan.

"Kayaknya gue mulai mencium aroma-aroma perghibahan."

"Mantan gebetan lu tuh, ra."

"Mantan? Yang mana sih?"tanya Ira bingung.

"Kebanyakan mantan sih, jadinya lupa kan" cibir Friska.

"Oh Vozi ketua basket dulu itu?"

Dwi menepuk tangan, "Lah ingat juga lo masih."

"Btw katanya sekarang dia tajir banget loh, seandainya gue jadi istrinya."

Dwi menampol kepala Vina,
"Sadar bego, dia udah punya istri."

Vina mengelus kepalanya yang ditampol Dwi, "Yaelah gakpapa juga kali, gue mau kok jadi yang kedua, asal selalu diutamakan."

Ira diam tak berbicara, dia sekilas mengingat kembali masa SMA nya dulu. Waktu itu dia pernah dekat dengan Vozi kakak kelasnya, hubungan mereka berjalan mulus, hingga akhirnya Ira berpaling dan meninggalkan Vozi.

"Udah punya anak. Jangan diganggu."

Kening Ira mengernyit, "Punya anak? Umur berapa?" tanya Ira penasaran.

"Lu pikir gue bininya apa? Ya mana gue tahu."

"Tapi gengs. Gue denger-denger nih ya istrinya sering ke rumah sakit jiwa," celetuk Vina.

"Ngapain?"

"Jualan tape sama ketan," jawab Vina dengan wajah masam.

"Ngapain jualan begituan di RSJ? kayak gak ada tempat lain aja," tanya Ira heran.

"Lama-lama gue sleding lu," ungkap Vina gemas dengan tingkah Ira yang sok polos.

"Kan gue cuman tanya. Malu bertanya sesat di jalan," ujar Ira tak mau disalahkan.

"BANYAK BERTANYA ELO EMANG SIALAN!"

TBC

Jangan lupa Follow ig

@Munjidaaaaaaa
@myangelman

My Angelman [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang