Chapter 36 | Saudara 📌

629 60 24
                                    

"Kenapa Mama saya ngamuk saat mendengar kata psikiater?" tanya Fariz kepada Dokter yang menangani mamanya selama ini.

"Itu dia yang selama ini saya herankan, sepertinya masalah yang menimpa Mamamu lebih besar dari dugaan kita sebelumnya," jawab Dokter Alfi merasa heran, sebenarnya jika hanya masalah ditinggal selingkuh suami kasusnya tidak akan selama ini. Mungkin jika mental pasiennya down maka akan sembuh paling lama satu tahun.

"Apa selama ini Mama tidak cerita apapun Dok?" tanya Fariz penasaran, terlebih lagi tentang fakta ia mempunyai saudara bernama Vian.

Dokter Alfi menangkup dagunya berpikir keras, tampaknya ia berusaha mengingat-ngingat, "Mamamu sepertinya pernah bilang kalau dia punya dua anak laki-laki."

"Dua? Siapa Dok? Dan sekarang tinggal di mana?"

"Kalau gak salah namanya Al ... Vian, ya namanya Vian. Untuk alamat saya tidak tahu pasti sekarang dia tinggal di mana."

Fariz memijat pelipisnya yang terasa sakit, masalah yang harus ia tanggung tampaknya tak semudah yang ia kira.

"Apa Dokter tau ciri-ciri saudara saya itu?" tanya Fariz, siapa tahu ia bisa mencari keberadaan saudaranya.

"Oh iya saya ingat. Mamamu pernah bilang kalau anaknya yang satu itu suka sekali dengan cokelat dan roti."

"Cokelat dan roti? Kenapa sama dengan saya?"

"Mungkin kebetulan kesukaan kalian sama. Eh tapi tunggu, kenapa kamu bertanya seolah tidak tahu kalau kamu mempunyai saudara?" tanya Dokter Alfi. Di lihat dari cara bertanya dan ekspresi bingungnya tampak sangat jelas kalau dia tengah kebingungan.

"Tidak apa-apa," elak Fariz tak ingin terbuka.

"Jadi begini Fariz, jika kamu menceritakan segala keluh kesah atau yang berhubungan dengan Mamamu, kemungkinan besar solusinya akan dapat saya temukan. Kunci kesembuhan Mamamu saat ini terletak pada dirimu sendiri. Kamu harus mengungkapkan sebenarnya apa yag terjadi pada Mamamu sebelum ia masuk ke RSJ ini," tutur Dokter Alfi panjang lebar.

Fariz menghembus napas panjang, memang benar tak seharusnya ia pendam sendiri, harus ada satu orang yang bisa menjadi teman curhatnya. "Baiklah, Dok. Saya akan menceritakan apa yang saya tahu."

"Silahkan," ucap Dokter Alfi. Tangannya cekatan mengambil buku catatan beserta bolpoin untuk mencatat apa yang sekiranya perlu dicatat saat Fariz bercerita.

"Jujur saya tidak pernah tahu kalau Mama mempunyai anak selain saya. Mengapa saya bilang seperti itu? karena dari saya kecil sampai berumur tujuh tahun, Mama tidak pernah mempunyai anak lagi atau merawat anak selain saya."

"Apakah dia hanya berhalusinasi? Tapi itu tidak mungkin jika secara logika."

"Lalu saya harus bagaimana, Dok? Saya tidak tega melihat Mama berada di sini," ungkap Fariz dengan nada lesu.

Dokter Alfi mencoret cacatan yang tidak penting. "Satu-satunya cara tanyakan hal tersebut kepada Papamu. Dia satu-satunya sumber yang terpercaya sebab Papamu lah satu-satunya orang yang paling dekat dengan Mamamu."

"Nanti saya usahakan bertanya."

Fariz meninggalkan ruangan Dokter Alfi. Langkahnya perlahan-lahan kosong, memori tentang semalam membuatnya tak bisa berhenti berpikir. Sebenarnya siapa Vian itu? Apa dia kakak atau adiknya?

Ia duduk di sebuah kursi taman yang berada di RSJ ini, matahari pagi hari ini tampaknya sangat terik bersinar, bahkan hari ini Fariz rela tidak pergi ke sekolah lantaran penasaran dengan sosok saudaranya itu.

Fariz menutup wajahnya dengan kedua tangannya, rasanya sangat memusingkan jika dipikir-pikir semakin lama. "Mama sebenarnya apa yang membuatmu bertahan lama di sini," lirih Fariz.

My Angelman [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang