Chapter 49 | Lelah 📌

736 75 34
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak ❤
Vote dan komen agar aku selalu semangat menulis cerita ini ❤❤❤

***

"Sepertinya kita akan segera mendapatkan kabar baik nih Pi," ucap Widya tersenyum senang melihat kedekatan putri dan menantunya.

"Sejak kapan kalian__"

"Beberapa bulan yang lalu kami sudah sepakat untuk memulai hubungan dari awal. Perlahan saya akan belajar mencintai Vivi dengan sepenuh hati," ucap Vian. Perhatiannya kepada Vivi yang tidak seperti biasanya mengundang tanda tanya di benak mertuanya.

"Akhirnya kamu bisa menenangkan hati dia sayang. Sudah Mami katakan dari awal. Si cacat itu tidak akan bisa menang melawan anak kesayangan Mami ini," ungkap Widya merasa bangga terhadap anaknya yang sudah berhasil meluluhkan pujaan hatinya.

"Mami jangan pernah mengatakan keponakanku cacat. Dia memang memiliki kekurangan. Tetapi, dia memiliki kelebihan yang tidak semua orang memilikinya," ujar Vivi tak suka Maminya masih membenci Dara.

"Sejak kapan membela anak itu? Apa kau lupa, dia adalah orang yang membuat kakakmu pergi dari dunia ini. Kakak yang sangat menyayangimu," ujar Widya bersungut-sungut.

Ferdy meletakkan kembali sendok dan garpu. Selera makannya hilang setelah kembali mengingat nasib cucunya yang masih belum kunjung sadar. Sudah hampir dua tahun. Namun, tak ada satupun kabar baik.

"Mi, aku mohon. Jangan sakiti Dara lagi. Dia selama ini menanggung siksaan dari dua keluarga sekaligus. Di mana hati nurani Mami? Dia cucu pertama dari keluarga Nurdiansyah," ucap Vivi menatap sendu ke arah Widya. Ia menggelengkan kepalanya heran, tak ada habisnya rasa benci Maminya kepada Dara.

"Mami tidak sudi mengakuinya cucu. Keluarga Nurdiansyah tidak memiliki riwayat keturunan cacat. Intinya Mami gak sudi."

"Mi. Aku mohon, berhenti mencaci maki dia. Jika Mami memang sangat tidak suka dengan Dara, jangan mencaci makinya. Asal Mami tahu benci adalah cinta yang tertunda," ujar Vivi seraya menahan emosi yang ingin meledak-ledak.

Widya tak percaya mendengar putrinya mengatakan hal itu.
"Apa gara-gara kamu membuat dia koma, lalu kau pura-pura menyesal agar semua orang tidak menyalahkanmu?" teriak Widya.

"Astaga. Mi, aku sungguh menyesal membuat dia seperti itu. Andai saja aku bisa memutar kembali waktu atau bisa berganti posisi dengan Dara. Maka akan aku lakukan, Mi."

"Coba sebentar saja. Dengarkan kisah dia. Aku yakin Mami akan menangis," lanjut Vivi. Matanya memanas ketika mengingat kembali kisah pilu lika-liku perjalanan kehidupan Dara.

Widya bangkit dari duduknya, ia meninggalkan ruang makan tanpa sepatah katapun. Dia melangkah masuk ke dalam kamar, mengunci pintu, lantas berbaring di ranjang.

"Sayang. Maafin, Mami. Sejauh apapun Mami mencoba menerima anakmu. Tetapi, ketika Mami mengingatmu, kebencian itu semakin menumpuk," ucap Widya memandangi sebuah figura kecil yang berisi fotonya dengan Edwin. Waktu itu dia baru lulus sekolah menengah pertama. Foto inilah kenang-kenangan terakhir sebelum anak sulungnya itu keluar dari rumah ini.

Sejujurnya Widya merasa tak tega setiap kali mencaci maki Dara. Namun, karena Dara, Edwin malah menentangnya. Karena itu ia menjadi sangat benci kepada Dara. Dulu ketika Edwin menikah muda, Widya sangat tidak merestui. Dia tidak menyukai wanita itu karena membuat putranya melupakan status Widya sebagai Ibu. Hati perempuan mana yang tak sakit saat anaknya malah lebih memilih istri daripada ibunya sendiri.

Widya sangat tidak menyukai Ira karena dia beda kasta dengan keluarganya. Dia adalah perempuan yang besar di dalam panti asuhan. Entahlah dia anak yang tak diharapkan atau yatim piatu. Tetapi, yang jelas Widya tidak menyukai perempuan yang tidak jelas asal usulnya.

My Angelman [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang