"Jadi dia alasanmu menjadi seorang Psikiater?" tanya Alexander_Papa dari Dokter Vian.
"Cita-citaku awalnya ingin menjadi Dokter biasa, Pa. Tapi karena keinginan papa aku harus belajar dan menjadi psikiater," elak Vian.
"Buktinya sudah jelas Vian. Kau aneh tiba-tiba pengen ingin bekerja di rumah sakit cabang. Kenapa tidak dirumah sakit pusat saja? Itu bisa menggajimu lebih besar nak."
"Hartaku sudah lebih dari cukup untuk masa depanku, Pa. Jadi jangan halangi apa yang ingin Vian lakukan," ucap Vian serius menatap mata Papanya.
Alexander tak bisa membiarkan ini berlanjut lagi. Image keluarganya alan hancur gara-gara keegoisan dari putra sulungnya ini. "Sadar nak. Dia masih bocah yang baru saja memasuki masa pubertas. Dia tak bisa mengurus dirimu. Mengurus diri sendiri saja tidak bisa, apalagi mengurus dirimu."
Papanya memang benar. Gadis seperti Dara masih sangat belia. Mengapa bisa Vian berniat menjadikannya seorang pendamping hidup? Sudahlah lupakan mungkin Vian sekarang menjadi pedofil yang menyukai anak-anak.
"Setidaknya izinkan Vian menjadi Dokter pribadinya, Pa. Sampai dia menemukan orang yang bisa menerima dia apa adanya. Yang bisa membuat dia selalu tersenyum setiap hari. Aku hanya ingin menjaganya kali ini saja," pinta Vian memohon kepada sang Papa.
Setidaknya jika Vian tak bisa memiliki Dara dia sudah menjadi seorang Dokter yang bisa merangkap menjadi seorang kakak yang baik.
"Baiklah. Pada waktu dimana ada seorang pemuda gila yang mau menerima Dara apa adanya kau harus melepaskan dia. Lalu menikah dengan gadis pilihan papa," ucap Alexander yang membuat Viam diam tak membalas ucapan papanya.
***
Dara membaca buku pelajaran yang tadi diterangkan oleh gurunya. Meskipun memiliki keterbatasan dalam hal gerak dan berbicara Dara dianugerahi kelebihan dalam hal mengingat sesuatu. Baik itu sesuatu yang bermanfaat dan tak berfaedah Dara bisa mengingatnya dengan sangat mudah.
"Dara sayang. Minum teh hangat dulu ya," ucap Edwin yang sedang membawakan segelas teh hangat yang terlihat tidak sepet teh biasanya.
Warna tehnya sedikit pucat. Tidak bukan hanya pucat itu nyaris seperti air putih biasa. Dara langsung bisa memahami bahwa teh yang dibawakan papanya sepertinya sisa stok teh yang berada di dapur.
Dengan tawanya Dara menyambut teh yang diberikan papanya. Dengan senang hati Dara meminum teh yang dibuatkan papanya. Saat pertama kali meminum teh tersebut rasa asin mengelanyar di rongga mulut Dara. Tapi Dara lekas-lekas menghabiskan satu gelas teh tersebut.
"Wah kok tumben dihabiskan? Biasanya minum bareng papa. Jangan-jangan papanya udah gak dianggap ya? Makanya tehnya diabisin sendiri," tanya Edwin pura-pura merajuk kepada Dara.
Dara tidak mungkin memberitahukan bahwa teh yang dibuat papanya memiliki rasa asin dan pahit secara bersamaan. Ah tidak mungkin Dara melukai perasaan papanya. Dia harus menutupi hal ini dengan sebaik-baiknya.
"Dara haus sekali tadi. Maaf pa, gara-gara dara papa gak bisa minum tehnya."
"Gakpapa kok. Tadi papa cuman bercanda saja," balas Edwin dengan menggunakan bahasa isyarat juga.
Sudah sejak Dara didiagnosa tidak bisa berbicara dengan lancar. Edwin memutuskan untuk belajar bahasa isyarat agar bisa tetap berkomunikasi dengan lancar.
Tok tok tok
Edwin terhenyak mendengar ketokan pintu. Dilihatnya jam sudah menunjukkan jam sembilan malam. Siapa tamu malam-malam begini yang mampir? Daripada menerka-nerka sebaiknya Edwin lekas bergegas membukakan pintu.
Clek
"Selamat malam om. Saya dokter Vian selalu dokternya Dara," ucap seseorang yang tadi mengetuk pintu rumah Edwin.
"Ah, Dokter ada apa kemari? Apa ada masalah yang darurat dok?" tanya Edwin sedikit cemas.
Dokter Vian terkekeh melihat reaksi dari papa Dara. Bukankah sekarang dia tidak sedang memakai jas putih? Kenapa dikira ada masalah darurat?
"Tidak, Om. Tujuan saya kemari ingin menemui Dara sekaligus memberikan dia oleh-oleh ini," ucap Dokter Vian sambil menunjukkan dua kantong besar berisi berbagai macam makanan.
Edwin mengerjabkan matanya. Kenapa Dokter ini rasanya berbeda sekali? Dokter Dara yang sebelumnya tidak sebaik Dokter Vian. "Ah ya. Silahkan masuk."
Setelah Dokter Vian memasuki rumah, Edwin tak lupa kembali menutup dan mengunci pintu rumah. Dipikirannya kali ini masih saja janggal. Apakah ada maksud terselubung dari kedatangan Dokter Vian kesini? Ah jangan berpikiran negatif dulu. Siapa tau dia Dokter yang sangat menyayangi Dara itu saja.
"Dara!"
Pekikan dari Dokter Vian membuat Edwin lekas-lekas menuju keberadaan Dara. Mendengar suara Dokter Vian yang seperti itu membuat perasaan Edwin tak tenang. Jantungnya Berdebar-debar karena takut suatu hal terjadi kepada Dara.
Edwin terkejut melihat Dara tergeletak di atas lantai. Dokter Vian yang berada disampingnya berusaha menggendong Dara.
"Apa yang terjadi dok?" tanya Edwin panik.
Dokter Vian memindahkan Dara ke atas kasur. Dokter vian mengecek suhu tubuh Dara. Tidak panas. Tapi kenapa bisa pingsan?
"Apa tadi Dara makan sesuatu?" tanya Dokter Vian seraya memeriksa keadaan Dara.
Edwin menggeleng pelan, "Tidak ada dok. Hanya saja tadi dia minum teh hangat dari saya," jawab Edwin.
Dokter Vian melirik bekas gelas yang diminum oleh Dara. Diambilnya gelas tersebut lalu meneteskannya ke jari telunjuk kemudian ia rasakan sisa teh hangat yang berada di gelas tersebut.
Rasa asin mengelanyar di rongga mulut Dokter Vian. Edwin yang melihat reaksi Dokter Vian mulai bertanya-tanya apa yang terjadi.
"Kenapa dok?" tanya Edwin cemas.
Dokter Vian menghelas nafas. Mungkin Dara tak mau menyakiti hati sang papa dengan memberitahukan rasa dari teh hangat buatan papanya. Ia takut papanya akan merasa sedih karena tak bisa memberikan teh hangat yang manis.
"Tidak apa-apa, Om. Hanya saja kalau memang tehnya sudah habis jangan dipaksakan membuat teh ya. Takutnya berpengaruh terhadap kesehatan Dara," tegur Dokter Vian yang juga tak memberitahukan kebenaran dari rasa teh itu.
Edwin mengernyit tak mengerti. Padahal hampir setiap hari memberikan Dara teh hangat kenapa baru sekarang Dara pingsan seperti ini?
"Tapi, kenapa baru sekarang dia seperti ini, Dok? Sebelumnya dia tak pernah pingsan hanya karena meminum teh hangat dari saya," tanya Edwin merasa kebingungan.
Dokter Vian melirik ke arah Dara. Wajah polosnya itu membuat Vian tak tega mengungkapkan hal yang sebenarnya terjadi. "Mungkin ini dampak dari meminum teh hangat itu dari dulu, Om. Saya harap om hentikan memberikan Dara segelas teh hangat. Kalau bisa gantikan dengan susu putih," saran Dokter Vian.
Edwin seketika terdiam. Makan untuk satu hari saja masih saja kekurangan. Apalagi membeli susu untuk Dara. Rasanya itu sangat mustahil.
"Biarkan saya yang membelikan semua kebutuhan Dara. Saya hanya tidak ingin kejadian ini terulang lagi," ujar Dokter Vian yang mengerti keadaan ekonomi keluarga Dara.
"Tidak, dok. Jangan repot-repot. Saa merasa tidak enak hati," tolak Edwin halus.
Dokter vian menggelengkan kepalanya "Tidak, Om. Tekad saya sudah bulat. Jadi jangan halangi keinginan saya membantu Dara."
TBC
Kamu baca cerita My Angelman karena apa sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Angelman [END]
Teen Fiction[Angelman series 1] Aku ingin tau rasanya menangis. Aku ingin menangis saat suasana sedih. Aku ingin menangis saat disakiti. Adara Fredella Ulani adalah penderita angelman syndrome. Dia tak bisa menangis meskipun takdir hidupnya menyedihkan. Hanya...