Rintik-rintik hujan jatuh bersamaan dengan sebuah fakta baru yang terungkap. Benar adanya bahwa di dunia ini tak seharusnya kita mengambil kesimpulan sendiri tanpa tahu apa yang sebetulnya terjadi. Hanya sebuah penyesalan yang akan tersisa nantinya.
Dara memandang ke arah langit di mana air hujan yang jatuh berasal. Air hujan itu jatuh menimpa tubuhnya yang sekarang masih terbaring di kursi taman depan kompleks. Agaknya tak ada satupun orang yang mau membantunya. Kebanyakan orang yang lewat hanya menganggap Dara adalah seorang remaja labil yang melarikan diri dari rumah.
Hujan semakin deras, mau tak mau Dara menutup matanya agar air hujan tersebut tak masuk ke dalam matanya, tubuhnya menggigil hebat. Sehebat apapun ia berusaha kuat pasti akan mencapai titik jenuh dimana ia merasa lemah, terpuruk, dan merasa tak berguna. Harapan hidupnya tak ada lagi, di dunia ini sudah tidak ada yang mengharapkannya.
"Dara ingin bertemu, Papa. Tuhan tolong bawa Dara pergi dari dunia yang kejam ini."
Mobil berwarna hitam berhenti di depan kursi taman yang tengah Dara tempati. Pintu mobil tersebut terbuka dan seseorang di dalamnya keluar tanpa membawa payung. Orang itu ingin membantu seorang gadis yang tengah terbaring sembari menikmati air hujan yang jatuh.
"Dara?"
Seseorang yang baru keluar dari dalam mobil tersebut tak lain adalah Oktavianus Vian Javas Nararya. Tadi ia sempat kaget saat melihat seorang gadis tertidur, dalam pikirannya ia hanya ingin membantu memberikan tumpangan. Tak disangka-sangka ternyata gadis itu adalah Dara.
Vian sigap membuka jas yang sedang ia pakai, lalu ia letakkan diatas tubuh Dara.
"Dara kamu ngapain disini? Dara bangun," ucap Vian sembari menggoyang-goyangkan lengan Dara.Tak ada tanda-tanda Dara merespon, takut terjadi sesuatu Vian membantu Dara agar mengganti posisi dari terbaring menjadi duduk. "Badan kamu panas sekali, lalu apa ini?" tanya Vian saat menyadari sekujur tubuh Dara penuh dengan bekas luka.
Perlahan Dara membuka matanya, hal pertama yang ia lihat adalah wajah khawatir dari Vian. "Kamu kenapa Dara?" tanya Vian sekali lagi.
Dara tersenyum melihat Vian merasa khawatir dan peduli padanya. Untuk sekedar menjawab pertanyaan dari Vian, Dara tidak mampu. Tubuhnya terlalu lemah.
Vian berlutut didepan Dara, ia menarik Dara ke dalam pelukannya.
"Maaf maaf maaf maaf." Itulah kata yang hanya bisa Vian ucapkan saat ini. Saking lemasnya, Dara hanya bisa bersandar di bahu Vian tanpa membalas pelukan itu."Maaf Dara. Aku tahu kamu seperti ini gara-gara aku. Aku mohon maafkan aku, Kak Edwin pasti sangat marah kepadaku," ujar Vian disela-sela tangisnya. Ia tak kuat untuk tidak menangis. Melihat kondisi Dara yang seperti ini membuat Vian merasa sangat menyesal.
Keduanya berpelukan dengan diselimuti rasa bersalah, penyesalan, kerinduan yang amat dalam, dan juga rasa sakit. Tak lupa juga air hujan sebagai saksi bisu menemani kedua insan yang telah lama terpisahkan oleh sebuah kesalahan.
Vian merasakan tubuh Dara panas dan menggigil, tak mau terjadi sesuatu kepada Dara, ia menggendong Dara, lantas masuk ke dalam mobilnya. Pikirannya tak tenang dengan kondisi Dara saat ini, ia harus segera membawa Dara ke Rumah Sakit sebelum semuanya terlambat.
Di balik pohon Fariz diam mematung, ia melihat interaksi antara Vian dan Dara dari awal. Niatnya tadi ingin membawa Dara kembali ke dalam rumah. Sebelumnya dia berkeliling seperti orang gila yang mencari sesuatu, ia lupa bertanya kepada Pak Senol saking paniknya apalagi ditambah cuaca sedang hujan deras.
Setelah lama mencari akhirnya ia menemukan Dara tengah berbaring di sebuah kursi taman. Langkahnya terhenti saat hendak menghampiri Dara karena ada sebuah mobil yang berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Angelman [END]
Teen Fiction[Angelman series 1] Aku ingin tau rasanya menangis. Aku ingin menangis saat suasana sedih. Aku ingin menangis saat disakiti. Adara Fredella Ulani adalah penderita angelman syndrome. Dia tak bisa menangis meskipun takdir hidupnya menyedihkan. Hanya...