***
Waktu menunjukkan pukul tiga sore waktu setempat, bola mata hazelnya dengan telaten memperhatikan tiap kata yang berada dalam agendanya, setelah merasa cukup ia pun mengangkat wajahnya menatap salah satu kariawatinya."Imel, apa tadi pagi mbak Denia sudah datang?"
Perempuan bernama Imel itu berhenti sejenak dari aktivitasnya dan berpikir, tidak lama kemudian dia pun menggeleng sambil bersuara "Belum buk, saya kira mbak Denia sudah mengirim pesan ke ibu karena sampai sekarang belum ada konfirmasi dari mbak Denia"
Mendengar jawaban Imel membuat Prilly jadi bingung, terhitung sejak kejadian di rumah sakit itu kini sudah tiga minggu lamanya dan harusnya hari ini kedua pasangan itu datang ke boutique untuk melihat busana yang sudah jadi sekaligus mencobanya.
"Buk, saya sudah mencoba menghubungi mbak Denia tapi tidak ada jawaban" ini yang Prilly suka dari Imel, tanpa disuruh dia sudah bertindak duluan.
"Ok biar saya coba pakai telfon saya" sebenarnya ada rasa sedikit canggung untuk menghubungi Denia karena mengingat kejadian itu, tapi biar bagaimana pun juga dia harus profesional, ini masalah pekerjaan.
Setelah telfon berdering beberapa sa'at akhirnya suara seorang wanita menjawab panggilan Prilly.
"Hallo selamat sore"
"Ya selamat sore Nia, ini aku Prilly. Ah kamu lagi sibuk yah makanya hari ini enggak datang buat cobain gaun pertunangan kamu?" Prilly rasa ia tak perlu menggunakan bahasa formal layaknya para operator, dengan ia bertanya to the point saja ia pikir ini tidak menjadi masalah.
"Oh soal gaun, am Prilly bisa kita ketemu langsung? Ada hal yang perlu kita bicarain empat mata" nada bicara Denia tidak seheboh biasanya, seperti ada sesuatu yang tersampaikan lewat suara itu dan Prilly bisa merasakannya.
.
.
.
Sudah dua menit namun perempuan ini belum juga memulai pembicaraan, seakan anak kecil di depannya lebih menarik sehingga ia terus memperhatikan sambil tersenyum kecil melihat balita ini memakan ice creamnya."Nia ma'af, tapi apa yang ingin kamu bicarakan? Kayla tidak akan menggangu" Prilly ingat bahwa Denia hanya ingin berbicara empat mata, namun ia juga tidak bisa meninggalkan Kayla sendiri apalagi ini sudah harusnya jam pulang kerja.
Denia tersenyum kecil sambil memegangi ponynya yang menutupi dahi, mungkin sebagai reaksi gugup atau canggung yang ia rasakan "Mm Prilly, aku rasa aku tidak akan mengambil busana rancanganmu" ucapnya tak berani menatap lawan bicara "Tapi aku akan tetap membayarnya"
Prilly yang tadinya terduduk santai kini menegakkan tubuhnya dan menatap Denia tak percaya "Kenapa Nia? Kenapa tiba-tiba begini?" Para praduga sudah tumbuh di otak Prilly, mungkin Denia tidak suka dengan rancangannya, mungkin Denia sudah menemukan desainer lain tapi kalau itu benar kenapa Denia tidak mengatakan langsung? Bukankah perempuan ini adalah seorang talk active? Dan sungguh Prilly tidak merasa dirugikan seandainya praduganya itu benar karena ini adalah resiko dalam berbisnis dan dia paham betul itu.
"A... Aku" perlahan Denia mengangkat wajahnya menatap Prilly, pelupuk matanya sudah membendung air-mata "Aku membatalkan pertunangan itu"
"A...apa? Membatalkan? Kenapa Nia?"
"Aku tidak mungkin menjalin hubungan dengan pria yang masih mencintai perempuan lain, apalagi perempuan itu adalah bagian dari masa lalunya"
Pikiran Prilly sudah campur aduk antara dia mengira kalau Denia sedang curhat padanya atau ini ada hubungannya dengan kejadian di rumah sakit itu.
Belum lagi suara dan tatapan Denia yang sendu membuat Prilly bisa langsung merasakan kalau masalah ini sangat berefek besar pada diri Denia.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURGA DINI [Selesai]
FanficKetika surga itu datang lebih awal karena pilihan mereka sendiri. #AliPrilly