"Huff, cape banget sih gue hari ini." Mellysa bermonolog, ia langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur king size nya. Ia memejamkan matanya perlahan berharap semua rasa sakit nya ini segera berakhir.
Dadanya terasa sangat sesak, saat mengingat kejadian beberapa jam yang lalu, saat teman-teman nya membawa orangtua nya masing-masing untuk menghadiri rapat kelas XII, yang sebentar lagi akan melaksanakan ujian nasional.
Dari empat ratus, lima puluh siswa-siswi kelas XII. Hanya Mellysa saja yang orang tua nya tidak hadir. Sepanjang rapat berlangsung. Mellysa hanya bisa melihat betapa harmonisnya keluarga orang lain, ia hanya bisa melihat nya saja tanpa merasakan nya. Mellysa kira Agatha akan datang untuk menghadiri rapat nya, namun nyatanya surat yang di berikan oleh sekolah, tidak di baca sama sekali oleh Agatha.
Apa Mellysa sangat tidak penting di mata Agatha? Lalu jika kehadiran nya tidak pernah di anggap, kenapa ia harus terlahir ke dunia?
Tak terasa setetes air mata jatuh membasahi pipi mulus nya, mungkin dengan ia menangis bisa menghilangkan rasa sakit yang di pikulnya. Rasa sakit seorang anak korban broken home.
"Gue pingin deh jadi Rere, walaupun dia miskin tapi orangtua nya selalu peduli sama dia. Selalu suport dia dalam keadaan apapun."
"Beda banget sama gue? Keluarga gue udah hancur, ga ada yang bisa di perbaiki lagi, coba aja gue punya sodara mungkin gue ga akan ngerasa, kesepian kaya gini."
Mellysa bangun dari tidur nya, tangan nya langsung menghapus jejak air mata yang ada di pipinya. Ia harus kuat, ia tak boleh lemah seperti ini. Lagipula masih banyak orang yang menyayangi nya. Ia harus bertahan demi mereka.
Mellysa membuka knop pintu kamarnya, ia mengeryitkan dahinya heran saat melihat rumahnya hari ini terlihat sangat ramai, dengan badan yang masih terbalut seragam sekolah Mellysa langsung menuruni anak tangga dengan sangat hati-hati.
Mellysa ber oh ria, saat melihat kedatangan kakek dan neneknya ke sini, neneknya melambaikan tangan pada Mellysa untuk mengajak Mellysa duduk di sebelahnya.
"Kamu udah besar ya sekarang? Kenapa jarang main ke rumah oma?" tanya Mayang nenek Mellysa, tangan keriput nya mengelus puncak kepala Mellysa dengan sayang.
"Hehehe." Mellysa hanya nyengir tidak tau harus menjawab apa, ia sangat malas jika sudah berkunjung ke rumah neneknya, sudah pasti ia akan di banding-bandingkan dengan saudara nya yang lain, Mellysa memang di jauhi oleh saudara nya sejak ia kecil, entah apa sebabnya ia pun tidak tau.
"Mau masuk Universitas mana?" tanya kakek nya.
"Gatau kek."
"Kamu harus nya contoh, Karin dia masuk Universitas ternama. Nilai rapot nya juga bagus, beda banget sama kamu." Baru saja Mellysa bahagia karena nenek dan kakek nya mengunjungi nya, tapi kini semuanya berubah saat kakek nya membandingkan nya dengan sodara nya.
"Kalo niat kakek kek sini mau bandingin aku, mending kakek pulang aja sana, aku ga butuh ceramahan kakek," ucap Mellysa dengan suara yang naik satu oktaf.
"Kamu ngusir kakek hah?!" Satu tamparan kasar melesat di pipi kanan Mellysa, para pelayan yang menyaksikan nya benar-benar terkejut, saat melihat nona mudanya di tampar seperti itu. Namun mereka hanya bisa diam di tempat nya.
"Apa yang papah lakuin?" suara dingin nan berat itu, langsung menarik perhatian semua orang yang berada di ruangan itu. Sosok Agatha tiba-tiba muncul dari belakang tubuh Mellysa.
"Anak kamu itu ga punya sopan santun! Dia berani-beraninya ngusir saya dari sini," bentak Riyan kakek Mellysa.
"Tapi.... Apa pantas papah tampar dia? Saya saja yang ibunya tidak pernah menampar dia," perkataan Agatha sukses membuat kedua sudut Mellysa mengembang. Walaupun hanya perlakuan kecil, tapi Mellysa sangat senang, setidaknya Agatha masih membela nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antallys [Completed]
Teen Fiction"Untuk apa bertahan dengan seseorang yang tidak menginginkan kehadiranmu?"