Harist melempar tas serta tubuhnya ke dasar kasur dengan penuh perasaan yang sangat aneh.
Haa.. Haa.. Haa
Nafasnya naik turun, menatapi langit kamar masih terbayang akan kejadian tadi. Berkelahi dengan orang yang tak dikenal, lalu ditolong oleh si dia dan kemudian, yang paling membingungkan kenapa ia membututi cewek itu sampai ke rumahnya?
"Aahhh!!" langsung mengguling-guling Harist di kasur, merasa sangat malu dan kesal pada diri sendiri. Akibatnya kasur itu berubah acak-acakan oleh tingkahnya.
Tok tok tok
Ketukan pintu datang saat suasana hati Harist sedang tak jelas. Suara itu
membuat dirinya terganggu."Apa?!" kesal, kepalanya pun ia tutupi oleh selimut.
"Maaf, Den. Ada telpon dari Bu Santy. Ibu mau ngomong sama Aden." balas Bibi yang di depan pintu kamar Harist.
Harist mengembus panjang di dalam selimut. Dengan rasa malasnya, ia berjalan ke pintu untuk menerima telpon.
Dagu Harist bergerak menyuruhi Bibi untuk meninggalkan dirinya setelah menggenggam telepon rumah.
"Hallo." Harist kembali berjalan ke kamar dan duduk di sisi kasur.
"Ya, Hallo Harist. Gimana kabar kamu? Baikkan?" suara serbang sana.
"Em. Kenapa, Tan?" bertanya kenapa menghubunginya.
"Gak ada apa-apa. Tante cuman pengen tahu kabar kamu minggu ini. Tadi kenapa hp kamu sulit banget Tante hubungi?"
Harist langsung mencari keberadaan ponselnya yang ternyata ada di saku jeans. "Mati, Tan." melihat layarnya tidak menyala.
"Oh yaudah gak papa kalo gitu. Sekarang, uang kamu masih cukup atau sudah habis?" suami Santy selalu mentranfer uang di rekening Harist untuk memenuhi kebutuhan. Santy dan suami sudah beralih menjadi orang tua bagi remaja ini.
"Masih ada, Tan."
"Syukur, deh. Tante tenang kalo udah denger kabar kamu karna Tante sama Om bertanggung jawab atas semuanya. Kamu ngertikan?"
"Em."
"Yaudah, kamu langsung tidur. Siap-siap buat sekolah besok, ya. Assalammualaikum, Sayang..."
"Waalaikumsalam."
Tut
Telepon disudahi.°°°°
Suasana masih sepi dikala waktu menunjukkan pukul 05.25 pagi. Langit juga belum melemparkan cahaya alam semesta. Di kamar pribadinya, Aisyah baru saja selesai mengikat dasi abu-abu, dengan menatap lurus pada sang cermin. Melihat penampilannya memakai seragam khas anak SMA, membuat teringat akan kejadian yang sudah-sudah terjadi di sekolah barunya minggu ini.
Hem
Aisyah belum merasakan kenyamanan langsung ketika disana. Semua alasannya, karena banyak sekali perbedaan. Aturan sekolah, teman, pakaian, kegiatan sekolahnya, semua berbeda. Ya.. memang salah jika membandingkan pesantren dengan sekolah formal. Sudah pasti berbeda.
Seiringnya waktu, Aisyah harus sanggup menyesuaikan diri di tempat barunya sekarang. Walau belum terbiasa, mau tak mau ia harus membiasakan.
"Bismillah!" sudah terlihat cantik di cermin, tangan Aisyah langsung mengambil tas dan berjalan ke luar kamar menuju dapur untuk sarapan bersama.
Kini, mereka tengah sibuk sarapan dari masing-masing, terkecuali Aisyah yang hanya minum susu sebagai sarapannya. Ia bukan tipe orang penyuka makan nasi di pagi hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siswi Bercadar ✅
Teen FictionDemi berbakti dan membantu kondisi ekonomi keluarga, muslimah bercadar ini rela pindah dari pesantren favoritnya ke sekolah formal. Apa yang terjadi? Entahlah, Yang pasti, ia akan disambut oleh lingkungan baru, masalah dan perbedaan yang terjadi. T...