Di sebuah kamar minimalis, akam tetapi sangat menampilkan aura kemuslimahan dari penghuninya. Di setiap dinding, ada lukisan kaligrafi, stiker wanita bercadar tanpa bergambar wajah, bingkai hiasan bertulis kata bijak, dan terakhir, foto si penghuni bersama keluarga tercintanya. Penampilan tempat tidurnya ini, berdasar dari karyanya sendiri yang menyukai hal yang barbau positif dan religius.
Langit malam, ditambahi hembusan angin dari jendela kamar, menyempurnakan suasana hati Aisyah yang tengah duduk di kursi belajar. Tangannya membuka sebuah celengan kucing, untuk mengeluarkan isinya. Alhamdulillah, hampir seminggu ini, lembaran uang sudah ia pegang begitu banyak dari hasil jualannnya. Semuanya berkat kemudahan dari Allah dan juga usaha yang ia punya.
Aisyah menumpahkan semua lembaran uang yang terlipat-lipat di meja. "Kira-kira, udah kekumpul berapa, ya?" merapihkan satu persatu lembaran.
"Masya Allah.. Banyak juga." melihat tumpukan uang di genggamannya. Dari uang koin bernilai lima ratus perak, sampai bernilai seratus ribu rupiah pun, juga hadir dalam tumpukan uangnya.
Sekitaran dua menitan menghitung hasil penjualan, Aisyah langsung tersenyum lebar, sangat bahagia dan bersyukur. "Ya Raab, aku dapet keuntungan delapan ratus ribu?" cukup tak sangka hasilnya akan sebesar ini. "kalo aku jualan selama setahun... Bisa-bisa dapet.." Aisyah mengambil kertas dan pulpen mencoba menghitung pendapatan yang akan di raihnya selama setahun.
153.600
Hasil angka hitungannya di kertas.
Tubuh Aisyah jatuh di senderan kursi. Ia tutup mulut dan membulat kaget. Lebih tepatnya, angka tersebut mengartikan uang sebanyak 153.600.000 rupiah.
Hah!
Entah kenapa, tumbuh rasa semangat yang tinggi dengan sendirinya di benak Aisyah. Angka yang fantastis itu, sangat mendorongnya untuk terus berjuang dan tak menyerah untuk berjualan agar bisa tercapai keinginannya kuliah di Mesir.
Terpejam kuat mata Aisyah diiringi penampilan gigi rapihnya. Itu ekspresi yang begitu antusias.
Semangat, Syah! Semangat!
Tangan Aisyah merapihkan dan menaruh uang tabungan di tempatnya kembali, dengan nafas naik turun yang tak sabaran bisa berkuliah di negeri Fir'aun tersebut.
°°°°
Bibi melangkah masuk ke dapur sehabis makan malam bersama suami di ruanganya (kamar pembantu). Ia menuju dapur untuk membesihkan dua piring kotornya, sekaligus mencuci tumpukkan piring-gelas yang belum ia cuci tadi sore.
Bibi bergerak, menggosok benda beling tersebut seperti biasanya sehari-hari. Mulai dari wajan, panci, piring-gelas dan sendok-garpu ia cuci semua di bundaran wasstafel dengan air yang terus mengalir.
Selang beberapa menit, cucian kotornya mulai berkurang dan tinggal benda kecil saja seperti sendok-garpu. Setelah itu, tangannya mengambil benda asing, berbentuk kotak biru. Semakin Bibi perhatikan benda ini, kenapa ada yang aneh, ya.
"Ini.. Kotak bekal punya siapa?" naik bibirnya, bingung dengan benda yang sedang ia pegang. Tak bisa menemukan jawaban, Bibi langsung menuntaskan pekerjaannya. Ia meninggalkan dapur setelah selesai mencuci karna harus berberes juga yang di tempat lain.
🌄
Paginya, Harist bergerak cepat menuruni setiap anak tangga. Ia melangkah panjang, melangkah ke arah dapur menemui Bibi.
"Bi," panggil Harist ketika menemukan punggung Bibi dari belangkang.
Bibi spontan berbalik atas panggilan Harist, ketika ia sedang serius menggoreng. "Ya, Den. Kenapa?" menghampiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siswi Bercadar ✅
Teen FictionDemi berbakti dan membantu kondisi ekonomi keluarga, muslimah bercadar ini rela pindah dari pesantren favoritnya ke sekolah formal. Apa yang terjadi? Entahlah, Yang pasti, ia akan disambut oleh lingkungan baru, masalah dan perbedaan yang terjadi. T...