Terbitnya sang mentari, semua rutinitas apapun dimulai kembali. Begitu saja setiap hari, tanpa kenal waktu dan ujungnya.
Johan menepati ucapannya untuk menjemput Harist di pagi ini. Sekarang, mobil BMW sudah tiba di depan gerbang rumah mewah.
Bim! Bim!
Johan mengklakson.Diwaktu yang bersamaan, Harist baru saja keluar dari pintu rumah. Matanya menyipit mendengar klakson mobil di depan gerbang.
Kaca mobil perlahan terbuka dan menampakkan sosok Johan. "Ayo langsung jalan, Rist!" agak teriak Johan melihat ponakannya sudah depan pintu rumah.
Harist mengangguk. Ia berjalan menuju mobil Johan untuk memulai perjalanan hari ini.
Duk!
Haris langsung duduk dan memakai sabuk setelah masuk mobil Omnya.
Kini, kepala Johan sedikit miring entah apa yang membuat poster tubunya begitu. Ia menatap menyeluruh ke arah Harist disampingnya dari kaki sampai ujung rambut.
Harist berduduk santai setelah memasang sabuk. Tetapi, kini dirinya merasakan aura seolah sedang diperhatikan. "O-om?" tatap heran pada Johan. Kenapa Omnya memperhatikan dirinya dengan ekspresi seperti itu?
"You so handsome my nephew!" langsung menepuk punggung Harist dengan tawaan kagum. "Kamu tahu tempat ya dalam berpenampilan." tangan Johan mulai bersiap menjalankan mobil.
"Harist rasa.. biasa aja, Om." ucap Harist merasa bingung kenapa Omnya memuji seperti itu. Perasaan, penampilan ia di depan cermin tadi sama persis di setiap harinya yang biasa saja, tidak tampan amat dan tidak jelek juga. Mungkin, ini dari sudut mata orang lain, jadi berbeda penilaian.
"Heh? Biasa aja kata kamu? Nih, ya kalo mau gak percaya.. Liat aja nanti karyawan kantor disana pada gimana." Johan ingin membuktikan.
Harist memutar mata malas. "Terserah, deh." lagak tubungnya sedikit geli mendengar itu. Apa untung dan senangnya biarpun nanti karyawan wanita akan histeris dengan pesonanya. Dia tidak tertarik sama sekali oleh wanita yang berusia jauh lebih tua.
Johan tersenyum miring dengan gelengan kecil. Lalu, mobil pun mulai berjalan cepat menuju kantor perusahaan.
Seiring perjalanan, menampakkan di luar bagai garis-garis yang terus bergerak mengikuti cepat dan lambatnya mobil melaju. Diwaktu bersamaan ini, suasana hati Harist berubah tegang. Ia akan memperkenalkan diri dan berpidato sedikit kepada orang kantor disana. Tapi, tak apalah. Ini sudah jadi tanggung jawabnya akan menuruskan perusahaan Luzman, Abinya sendiri. Menjadi seorang pemegang perusahaan atau familiarnya, CEO, itu sungguh tidak semudah memetik daun. Semua apapun nanti yang akan terjadi, baik atau buruk pun, Harist harus bisa menjalankannya. Semoga saja, perusahaan keluarganya ini, bisa lebih sukses dari hasil kerja keras Luzman. Ditambah, Harist sudah mempunyai sikap kepimpinan dari jabatannya sebagai ketua OSIS. Seharusnya, ia tak perlu terlalu cemas akan perusahaan jika dipegang oleh dirinya nanti.
"Kamu selama ini laksanain gak saran Om buat baca-baca buku?" datang pertanyaan Johan tengah perjalanan kini.
Harist menoleh sekaligus mengangguk. "Em."
"Saran Om yaa.. Jangan hanya satu jenis buku aja, buku kayak manajement wirausaha, pemasaran juga dibaca. Apalagi nih, di zaman kamu nanti entah enam atau sepuluh tahun lagi, pasti dibidang perusahaan lebih maju dan bersaing banget. Jadi ya, butuh namanya kesiapan akan masa depan.. gitu, Rist." penjelasan Johan yang sedikit memberikan saran.
"Iya Om, semalem udah beli lagi." balas Harsit.
"Nah, Good job!"
Tidak selang lama, memory Harist teringat oleh pertemuan dirinya dengan Aisyah semalam, ketika ia kelelahan mencari buku baru. Dan di malam itu juga, Aisyah tiba-tiba meminta suatu bantuan kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siswi Bercadar ✅
Teen FictionDemi berbakti dan membantu kondisi ekonomi keluarga, muslimah bercadar ini rela pindah dari pesantren favoritnya ke sekolah formal. Apa yang terjadi? Entahlah, Yang pasti, ia akan disambut oleh lingkungan baru, masalah dan perbedaan yang terjadi. T...