Malam ini, para pengunjung masih menikmati toko 'Knowledge Warehouse' untuk membeli buku atau hanya sekedar melihat-lihat saja. Adam dan Aisyah saling sibuk melayani pengunjunh satu persatu. Sangat bersyukur rasanya melihat toko selalu dalam keadaan ramai dari siang hingga malam sekalipun. Tak hentinya orang bergantian datang ke toko yang masih terbilang baru ini.
Adam sudah terbilang sukses dalam mengelola tokonya sendiri yang sebelumnya memiliki pabrik besar. Sangat berbeda jika dibanding-bandingkan lagi. Ya apapun itu, harus selalu ia syukuri. Hidup tak selalu di atas dan di bawah atau diantara keduanya. Hidup, bagaikan kumpulan warna. Ada putih, hitam, merah, biru, hijau dan banyak lainnya yang masing-masing memiliki arti yang bermakna. Jika hidup hanya merasakan kebahagian saja, kapan kita bisa mengenal kata bersyukur? Kapan kita mengenal arti perjuangan? Kapan kita akan mengenal pembelajaran jika selalu berbahagia? Maka itu, kenapa Allah membuat kehidupan di dunia yang tak lain hanya untuk memberikan pembelajaran bagi semua mahluknya.
Memang hampir setiap hari Aisyah memberikan waktunya untuk membantu Adam, ya selagi diizinkan oleh Umminya, karena apapun juga, izin orang tua hal yang penting.
"Terima kasih ya, Mbak." ucap salah satu pengunjung selesai membayar buku.
"Terima kasih kembali, semoga bukunya bermanfaat.." Aisyah merespon lebih. Lalu, ia beralih pada pengunjung lain yang berbaris untuk membayar juga. "silahkan Bu, apa saja bukunya?"
Adam beralih ke arah kasir setelah melayani beberapa pengunjung. Ia langsung menontoni Aisyah di ruang kasir sana. Putrinya itu begitu ulet dan ramah dengan senyum bak pelangi yang siapaun akan mengaguminya. Manis sekali.
Lima menit sudah Aisyah membereskan pekerjaan, Adam mendekatinya di ruang kasir. "Hebat banget sih anak Abi." merangkul dengan senyum bangga.
Aisyah terkekeh saja. "Mulai deh, Abi.."
"Mulai deh, kenapa? Emangnya kamu kenapa sih selalu... Aja gak suka dipuji." mulai jengkel Adam.
Aisyah tertawa kecil lagi. "Aisyah seneng Abi bilang begitu.. Cumankan, Aisyah pengen menghindari rasa berbangga diri yang bisa aja tumbuh di diri Aisyah dan nantinya, malah bertingkah sombong. Namanya manusia, ada aja rasa ketidak sadaran jika dia berbuat dosa, Bi." Aisyah menjelaskan kenapa dirinya tidak suka dipuji.
"Haah.. Gak ngerti lagi deh, Abi. Punya putri yang sholehah dan dewasa kayak kamu.. Pasti lebih pintar dibanding orang tua sendiri."
"Tuhkan, Abi. Lagi-lagi.." sedikit manyun Aisyah.
Tertawa senang Adam. "Ngomong-ngomong, cowok yang minggu lalu itu, temen kamukan?" pindah ke topik baru seraya membereskan benda-benda yang ada di kasir, karena siap-siap menutup toko.
Aisyah berpikir sejenak cowok yang dimaksud Abinya. "Oh, Harist."
"Namanya Harist?" kepala Adam menoleh.
"Iya, dia temen sekelas Aisyah."
"Kamu deket ya sama dia?"
"Eh? Ma-maksudnya a-pa?" alis Aisyah mengkerut.
"Yaa.. Selama kamu di pesantrenkan gak pernah bisa berteman secara bebas sama cowok kayak sekarang. Dia juga pernah ke rumah kita, eh ternyata kamunya gak tau. Kan Abi ngerasa aneh sama cowok itu kenapa bisa ada di depan rumah malem-malem." ujar Adam pertama kali melihat manusia seperti Harist.
Aisyah melipat bibir menahan tawa. "Abi jangan gitu." ucapnya. "dia udah bantu Aisyah soal Masjid sekolah yang sebelumnya Aisyah udah ceritain ke Abi."
"Emm.."
"Malah, Aisyah sekarang-sekarang ini lagi bahagia banget karena Masjid sekolah bakal rame lagi." tangan Aisyah ikut membantu merapihkan toko.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siswi Bercadar ✅
Teen FictionDemi berbakti dan membantu kondisi ekonomi keluarga, muslimah bercadar ini rela pindah dari pesantren favoritnya ke sekolah formal. Apa yang terjadi? Entahlah, Yang pasti, ia akan disambut oleh lingkungan baru, masalah dan perbedaan yang terjadi. T...