06| Minta Bantuan

6.2K 672 12
                                    

Krekk..

Kaki Aisyah tiba di rumah setelah dirinya banyak menghambiskan waktu bersama Pak Yusuf di sekolah. "Assalammualaikum, Aisyah pulang." suara terdengar letih dan wajahnya pun tak ada ekspresi bahagia sama sekali.

"Waalaikumsalam.. Eh, kesayangan Ummi udah pulang." menghampiri Aisyah ke depan. "Gimana hari ini? Loh, kenapa mukanya cemberut gitu.. Ada apa, hem?" Marwah menyadari itu dengan memegang pipi Aisyah.

Aisyah langsung berubah tersenyum, untuk menutupi dari Marwah. "Ada deh.. Aisyah ke kamar dulu ya, Mi." kakinya berjalan ke kamar untuk istirahat menenangkan pikiran mengenai sekolahnya sendiri.

Tubuh Marwah berputar, mengikuti perginya Aisyah, dengan rasa tanda tanya. "Kenapa dia?" gumamnya.

Aisyah menaruh tas, lalu mulai melepaskan balutan seragam di tubunya. Sudah beberapa kali wanita ini menghembus nafas kasar karena sudah stress. Memang benar, sekarang dirinya sudah mengetahui alasan SMA Samudra bisa seperti itu. Walaupun demikian, caranyalah yang sulit untuk mengembalikan kondisi yang sudah menjadi permanen. Memang, budaya itu begitu mudah memengaruhi sikap dan kebiasaan manusia. Jadi, sekarang harus bagiamana? Aisyah hanya ingin semuanya itu seperti apa kadarnya. Apa pantas sebuah sekolah tidak peduli akan adanya peraturan agama? Hey, semua manusia sudah terlahir sebagai orang yang beragama. 

"Mandi dulu, deh." tangannya mengambil handuk di gantungan pakaian, lalu berjalan ke luar kamar.








Pukul 19.02

Azan isya, baru saja selesai dari Masjid sekitar rumah cowok tampan yang bernama Harist.

Tak buang waktu lama, dia bangun dari rebahannya sehabis main game di gadget. Ia bersiap ke kamar mandi untuk berwudhu.

Tok tok tok

"Den, ini makanannya sudah siap." datang suara bibi dari depan pintu kamar. Harist pun jadi beralih untuk menghampiri lebih dulu.

Harist memegang piring dan segelas air dari tangan Bibi. "Makasih." sebelumnya ia meminta Bibi untuk membawakan makanan karna lapar. Ketika itu, mata Harist terfokus oleh mukena yang kini Bibi pakai. "Bi,"

"Ya Den, ada yang kurang?"

Harist menggeleng. "Bibi mau sholat Isya?" itu pertanyaannya.

"Oh," Bibi mulai tersadar. Ternyata, majikannya itu memperhatikan mukena yang dipakainya kini. "I-iya, Den. Maaf ya." jadi gugup, merasa pakaiannya kurang sopan jika berhadapan dengan Harist, majikannya sendiri.

"Harist juga mau sholat. Bareng aja. Ajak juga Pak Didit." katanya. Ia rasa, lebih baik begitu. Di sisi lain, Harist ingin sesekali lebih dekat dengan orang yang ada disekitarnya, termasuk pengurus rumah seperti bibi. Sulit ditutupi, sebetulnya dia sering kali merasa kesepian. "Harist tunggu ya di Mushollah." setelah itu, menutup pintu kamarnya.

"Ya ampun, si Aden bikin salah paham aja. Yaudah ah, langsung bilangin si Bapak mau sholat jamaah sama Den Harist." segera turun ke lantai satu menemui suaminya yang masih bekerja.




"Assalammualaikum warahmaullah.. Assalammualaikum warahmaullah.." kepala Harist tengok kanan dan kiri diakhir sholatnya.

Pak Didit, security dan Bibi yang sebagai makmum, mengikuti memberi salam.

"Alhamdulillahirambbil 'amalamin.." mengusap wajah Haris setelahnya. Kemudian, mereka beristigfar tiga kali dan dilanjutkan berzikir. "ilahana ya rabbana antamaulana, subhanallah.."

Jika diperhatikan begini, cowok ini terlihat pandai mengimami sholat berjamaah. Tak abis pikir, pasti Abi Harist mendidik putranya begitu baik sampai terbukti keahlian Harist yang kini kita lihat. Tak tahu lagi, sekarang seberapa sedih Harist sudah ditinggalkan keluarganya sekaligus. Banyak teman-temannya yang masih memiliki keluarga lengkap dan pastinya bahagia. Namun, kini tidak lagi bagi Harist. Ia menjalani hidupnya dengan kesendirian tanpa adanya kasih sayang orang tua lagi. Menjadi anak yatim piatu, sungguh membuat hati harus lebih kuat dan tegar menerimanya. Harist terus berusaha menyakinkan diri, jika kelak ia akan bertemu keluarganya di surga Allah tanpa ada rasa duka lagi. Harist sangat menanti itu.

Siswi Bercadar ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang