Sudah dalam dua minggu SMA Samudra menyelesaikan ujian praktik untuk semua siswa kelas 12.
Di jam depalan pagi ini, diisi oleh wali kelas, Bu Rahma. Kemungkinan, beliau tidak mengajar PPKN dahulu, melainkan akan mengisi waktu kebersamaan dengan anak didiknya.
"Anak-anak yang Ibu sayangi," beliau duduk di tengah kelas, sambil menyapu seluruh wajah muridnya. "Tak terasa waktu sudah mempertemukan kita dimana masa SMA kalian akan berakhir." mukanya datar, tetapi dibalikanya ada kesedihan. "Hampir satu tahun, kalian belajar, bercanda tawa, saling bantu, saling menguatkan, dan memberikan prestasi kepada Ibu sebagai orang tua kalian disini." menghembus.
Semua siswa terdiam. Mereka pun ikut termenung akan sedih aura yang menyebar dari Bu Rahma.
"Duh, maaf ya. Ibu jadi buat kalian sedih-sedihan begini." menyengir, malu. "Yang jelas sih, Ibu bangga, senang, dan bersyukur akan semua hasil kalian selama ini. Terkadang, Ibu mendapatkan pujian dari guru lain. Mereka bilang, anak Ibu ini cerdas-cerdas. Ya.. walaupun suka bikin sebel, terutama Angga sama Harist."
"E-em??!" kaget Angga. Ia melirik Harist dengan lolotan.
Harist yang sedang menyender melipat dada, jadi berekspresi malas. "Awas mata lo jatoh." katanya.
"Masih rese aja lu, ya." balas Angga.
Bu Rahma bangun dari kursi yang di tengah kelas ini. "Mumpung jam Ibu masih tersisa lama, Ibu sudah siapkan sesuatu buat kalian semua." berjalan ke meja guru, mengambil benda didalam tasnya.
"Nah, ini dia yang akan kalian tulis, ya." menunjukkan setumpuk sticky note warna-warni. "Apasih yang akan kalian tulis..? Jadi, ibu pinta kalian isi kertas ini dengan harapan atau cita-cita kalian di masa depan. Kalian tak perlu menaruh nama, ya. Cukup harapan kalian saja. Ibu pengen sih, kalian isi penuh kertas ini. Karna ibu ingin tau apasih yang akan kalian gapai dimasa nanti. Paham, ya?"
"Ya Bu, paham.."
Bu Rahma membagikan sepuluh-sepuluh setiap satu baris meja. Semua siswa mendapatkan warna masing-masing, mulai dari pink, hijau, biru dan kuning.
Aisyah memingkam, dengan jemari mengetuk-ketuk meja, bingung. Kira-kira apa dulu yang ia tuliskan. Sepertinya, rasa bingung itu karena terlalu banyak apa saja yang Aisyah harapkan.
Bergeser ke samping, ada Aca juga yang tak beda jauh sama Aisyah. Ia memutar mata, berpikir apa yang akan ditulisnya.
Kemudian, Aca melirik Aisyah yang sudah mulai bergerak mengisi kertas. Lalu, kepala Aca mendekat dengan sendirinya. Ia ingin tahu.
Tangan Aisyah berhenti. Tiba-tiba ada bayangan kepala didekatnya.
"Ca.. Ini bukan ujian. Gak perlu nyontekkan..?" naik alis Aisyah.
Langsung nyengir Aca. "Iya deh, maaf. Abis.. Bu Rahma mintanya harapan, sih. Kan bingung mulainya. Udah tau harapan aku segede gunung. Gak cukup kertas sekecil ini!! Gak cukup, hey gak cukupp..!!" menggoyang-goyangkan kertas, gemas sendiri.
Tawa Aisyah, ia memahami itu. "Coba deh, kamu pikir-pikir lagi apa yang paling kamu inginin. Abis itu, pasti muncul yang pertama kali di otak kamu, dan itu adalah keinginan kamu yang sebenarnya."
"Aaah.." angguk-angguk Aca, dengan cepat, dia langsung mempraktekkannya.
Aisyah tersenyum, lalu melanjutkan kegiatan tulisnya. "Yah, lupakan tadi mau nulis apa." gigit bibir, dan sekilas memperhatikan Aca yang ternyata sudah begitu serius pada kertasnya.
~~~
Harist berjalan seorang diri di jam istirahat ini, dengan tangan yang terus mengantung di celana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siswi Bercadar ✅
Teen FictionDemi berbakti dan membantu kondisi ekonomi keluarga, muslimah bercadar ini rela pindah dari pesantren favoritnya ke sekolah formal. Apa yang terjadi? Entahlah, Yang pasti, ia akan disambut oleh lingkungan baru, masalah dan perbedaan yang terjadi. T...