2

15.8K 2.7K 115
                                    

Minggu (14.49), 31 Mei 2020

--------------------------

"Bagaimana penjualannya?" John menyesap kopi pertamanya di cafe dekat hotel tempatnya menginap. Rasanya tidak seenak di kedai kopi seberang supermarket. Tapi cukup untuk menyegarkannya di pagi hari. Atau lebih tepatnya menjelang siang seperti sekarang.

"Lancar. Aku menaikkan harga jual dari rencana awal dan mereka langsung membelinya tanpa banyak komentar. Padahal aku sudah khawatir mereka menawar dengan sangat rendah." Leon menjelaskan dari seberang telepon. Dia adalah mitra bisnis John dalam bisnis real estate yang mereka kelola bersama.

"Bagus. Lalu bangunan bekas restoran yang terbengkalai itu, kau sudah melihatnya?"

Terdengar Leon meringis. "Kau tidak serius berniat membelinya, kan? Warga sekitar bilang tempat itu berhantu."

John berdecak. "Aku lebih percaya pada instingmu daripada perasaan takutmu. Datang saja ke sana dan lihat, apa menurutmu tempat itu punya prospek yang bagus."

"Instingku mengatakan tempat itu sama sekali tidak punya harapan."

"Kau sudah tahu bahkan tanpa melihat tempatnya?"

"Tentu saja. Percaya saja pada instingku."

John mendengus. Tapi dia tidak membantah lagi. Dia tidak bercanda saat mengatakan bahwa dirinya percaya pada insting Leon. Jika menurut Leon bangunan itu berpotensi menguntungkan setelah diperbaiki dan dijual kembali, gangguan hantu sama sekali tak akan menghentikan Leon.

"Jadi, kau ganti nomor lagi?" tiba-tiba Leon bertanya.

"Hanya selama aku di kota ini."

"Lalu nomor lamamu tidak aktif."

"Begitulah."

"Bagaimana dengan Rana? Dia terus mencecarku menanyakan di mana dirimu dan kenapa ponselmu tidak aktif."

"Bilang saja kau tidak tahu."

Rana selalu menjadi masalah terbesarnya saat ini. Secara hukum, dia adalah istri John. Tapi selama dua tahun pernikahan, tidak sekalipun John pernah menyentuhnya. Bukan karena dia membenci Rana. John menyayanginya. Masalahnya rasa sayang John pada Rana lebih seperti seorang kakak pada adiknya. Tidak bisa lebih.

Leon berdecak. "Tadinya kau menolak ide mengawasi secara langsung pembangunan area perumahan itu. Sekarang kau menjadikan ini sebagai kesempatan untuk bersembunyi dan membuatku menjadi sasaran amukan Rana."

"Itulah gunanya teman." John tergelak.

Mereka masih berbincang selama beberapa menit sebelum mengakhiri panggilan telepon. Setelahnya John baru bisa tenang menikmati sarapannya yang terlambat karena sejak pagi, ponselnya tidak bisa lepas dari tangan.

Usai sarapan, John masih menimbang-nimbang apa yang harus dilakukannya untuk menghabiskan waktu siang ini. Dia tidak harus datang ke area pembangunan karena untuk sementara situasi di sana lancar hingga Bastin tidak memerlukan kehadirannya. John baru memiliki janji temu untuk melihat lahan kosong lain di kota itu sekitar pukul empat sore nanti. Pasti akan sangat membosankan menunggu waktu bergulir tanpa melakukan apapun.

Lalu perhatiannya tertuju pada poster ice cream di dinding cafe. Walau kopinya tidak terlalu enak, Bastin pernah bilang ice cream di cafe ini menjadi favorit anak-anak. Tanpa pikir panjang John langsung memesan sambil membayangkan wajah menggemaskan si kembar yang baru berusia empat setengah tahun itu penuh dengan lelehan ice cream.

Tiap hari kerja, dia pasti menitipkan baby Bo ke rumah.

Oh, tunggu! Sekarang adalah senin pagi. Seharusnya si kecil lucu itu juga ada di rumah Bastin, kan? John segera menambah pesanan ice creamnya dan juga beberapa biskuit. Setidaknya siang ini tidak akan terlalu membosankan.

The Baby's FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang