Jumat (20.06), 19 Juni 2020
------------------------
BRAKK!
Gebrakan meja itu hanya membuat tangan Leon yang memegang pen membeku sesaat. Tapi hanya itu. Detik selanjutnya dia kembali sibuk mencorat-coret kertas di atas meja kerjanya tanpa sekalipun mendongak untuk sekedar menoleh ke arah sumber suara. Atau lebih tepatnya ke arah orang yang menyebabkan suara keras itu.
"Leon!"
Seruan bernada frustasi itu juga tak berhasil meruntuhkan sikap tak acuh Leon. Seolah dirinya sendirian dalam ruangan itu, Leon terus membolak-balik dokumen yang menjadi pusat perhatiannya dan sesekali melabuhkan catatan.
"Dasar sialan! Kau tidak bisa membisu selamanya! Kau tidak bisa mengabaikanku selamanya!"
Kalimat terakhir wanita itu berhasil menarik perhatian Leon. Dengan senyum mengejek di bibirnya, dia mendongak menatap mata hitam wanita yang tengah membungkuk dengan menopangkan kedua telapak tangan di meja kerja Leon.
"Kau ingin aku memperhatikanmu?" Leon terkekeh. "Maaf, aku sudah punya pacar."
"Kau mengerti bukan itu maksudku, bajingan!"
Salah satu alis Leon terangkat. Dengan senyum miring yang terkesan mengejek, dia kembali menunduk menatap jalinan kata di atas kertasnya. "Kau tidak akan mendapatkan apapun dengan memaki-maki orang yang hendak kau pintai tolong."
"Aku tidak minta bantuanmu," kali ini suara si wanita lebih rendah, berubah menjadi desis penuh emosi. "yang aku inginkan hanya jawaban. Di mana John?"
"Aku tidak tahu," sahut Leon enteng.
Brak!
Kembali wanita itu menggebrak meja dengan keras. Leon pasti heran kalau tangannya tidak terasa panas dan memerah sekarang.
"Kau pasti tahu! Kau yang selalu bersamanya. Pekerjaan kalian akan kacau kalau kau tidak tahu cara menghubunginya!"
Sekilas Leon kembali mendongak menatap mata hitam Rana, istri John. "Terima kasih atas kepercayaanmu akan kemampuanku mengurus bisnis kami. Tapi sejauh ini aku baik-baik saja."
"Aku tidak peduli dengan bisnis sialanmu! Yang kupedulikan hanya John. Katakan saja di mana dia! Apa susahnya? Aku tidak memintamu mengantarku ke sana!"
Dengan sengaja Leon menggosok telinganya menunjukkan dia terganggu dengan seruan-seruan keras Rana. "Masalahnya... aku tidak tahu di mana John. Jadi bagaimana aku bisa memberitahumu? Apa kau tidak keberatan aku berbohong dan memberimu alamat acak yang terpikir di kepalaku?"
Napas Rana terengah saat dia beradu tatapan dengan Leon. Butuh waktu lama baginya agar bisa menenangkan diri lalu menegakkan tubuh. "Baiklah. Kalau begitu beri aku nomor ponsel yang dia gunakan sekarang."
"Kalau aku tidak mau?"
"Aku akan datang lagi dan lagi hingga kau lebih suka memecahkan kepalamu sendiri."
Leon mengerutkan kening dengan sorot tak suka di matanya. "Kalau aku menurutimu kau akan menyingkir jauh-jauh?"
"Tentu saja." Rana berusaha menahan senyum senangnya. Sepertinya tak percuma dia terus datang merecoki Leon. Pada akhirnya lelaki itu sampai pada titik lelah.
"Kau sudah janji," tegas Leon dengan tatapan tajam lalu menuliskan deretan nomor ke atas kertas kosong dan segera menyerahkannya pada Rana. "Sekarang pergilah," usirnya, sama sekali tak berusaha bersikap lembut.
"Aku juga tidak sudi lebih lama di sini," kali ini Rana yang tersenyum sinis lalu berbalik keluar dari ruangan Leon.
Beberapa menit kemudian begitu Rana sampai di luar kantor L&J Group milik John dan Leon lalu masuk ke mobilnya, senyum lebar Rana tak bisa disembunyikan lagi. Duduk di balik kemudi, Rana menatap girang rangkaian nomor yang ditulis Leon.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Baby's Father
ChickLitJonathan Fabian harus mengawasi secara langsung proyek pembangunan di lahan kosong yang baru dibelinya. Di sana dia bertemu seorang wanita dengan bayi mungilnya yang secara aneh langsung membenci John di hari pertama mereka bertemu. Tentu saja John...