Senin (18.36), 28 Desember 2020
Terima kasih untuk segalanya ♥♥♥
--------------------------------
"Kalian saling mengenal?" tanya John dengan terkejut saat Zie dan sepupunya, Nathan, terus saling memandang setelah saling menyebut nama satu sama lain. Alarm peringatan seolah berdengung dalam kepala John. Entah mengapa dia merasakan firasat buruk melihat reaksi mereka.
"Ah, ya..." Nathan yang lebih dulu menjawab dengan nada gugup seraya menyusurkan jemari di antara helai rambut. "Dulu kami—"
"Aku permisi dulu!" seru Zie tiba-tiba, memotong ucapan Nathan. "Sepertinya aku ingin istirahat lebih awal," lanjutnya dengan senyum ragu ke arah John.
"Kenapa?"
Zie melotot. "Masih perlukah kau bertanya setelah menjadikanku pembantumu seharian ini?" Usai mengatakan itu dengan nada kesal yang tak dapat ditutupi, dia melirik ke arah Nathan yang rupanya masih terus memperhatikan dirinya lalu buru-buru mengalihkan perhatian ke tempat lain. "Selamat malam," pamitnya kaku lalu buru-buru berbalik dan berjalan cepat menuju kamar yang ditempatinya.
Segala tingkah laku Zie yang aneh tampak jelas oleh John. Dia bahkan bisa menebak Zie terlihat sangat gugup berhadapan dengan Nathan, seperti seorang gadis saat tanpa sengaja bertemu dengan cinta pertamanya. Tidak mungkin benar-benar seperti itu, kan?
Begitu sosok Zie yang melarikan diri tak nampak lagi, John mengalihkan perhatian pada Nathan yang rupanya menatap ke arah yang sama seperti dirinya. Berusaha menekan curiga di hatinya, John sengaja bertanya dengan kalimat tak jelas, "Kalian..." seraya menunjuk Nathan dan arah perginya Zie bergantian.
Nathan seolah tersadar lalu menatap John dengan senyum terulas di bibir. "Ya, kami saling mengenal." Hanya itu yang dia katakan tanpa berusaha menjelaskan lebih jauh. Lalu tanpa diminta dia duduk santai di sofa panjang depan tv. "Kalian benar-benar hanya berdua? Apa tidak berbahaya sebelum hari pernikahan?"
Mungkin Nathan bermaksud bercanda. Tapi entah mengapa pertanyaan itu terdengar mengejek. "Aku bukan lelaki bejat yang tidak bisa menahan nafsuku," katanya membela diri seraya berjalan ke sofa panjang yang lain lalu duduk dengan lengan terlipat di depan dada. Yah, kecuali beberapa tahun lalu. Mabuk membuat otak John pindah ke selangkangan.
Nathan menatap John dengan kening berkerut selama beberapa saat lalu terkekeh. "Kenapa kau bersikap seolah-olah aku musuhmu?"
John sama sekali tak merasa malu saat Nathan bisa menebak isi hatinya dengan tepat. Mereka memang sangat akrab. Mungkin tidak seakrab John dengan Rana. Tapi cukup sering menghabiskan waktu bersama dan saling bercerita hingga membuat banyak orang berpikir mereka adalah saudara kandung bahkan kembar jika mengingat betapa miripnya mereka.
"Aku hanya bersikap waspada," jelas John terus terang dengan mata menyipit curiga. "Jadi apa sebenarnya hubungan kalian?"
Sejenak Nathan terdiam. Menimbang dalam hati hendak berkata jujur atau tidak.
Bertemu dengan Zie lagi setelah bertahun-tahun berhasil mengacaukan hati Nathan. Memori-memori kebersamaan mereka silih berganti menyerbu ingatan, kian menyadarkan Nathan betapa indahnya saat mereka bersama.
Namun kenangan indah itu tak lama bertahan dalam benaknya, digantikan saat Zie melukai harga dirinya dengan kejam lalu melenggang pergi. Dan setelahnya, Nathan sama sekali tak berhasil menemukan jejak Zie.
Cinta? Kau percaya? Kupikir kau sangat mengenalku. Aku jadi ragu apa kau benar-benar tahu kapan aku berbohong atau berkata jujur.
Refleks jemari Nathan mengepal. Mungkin sudah lima tahun berlalu sejak kata-kata itu terlontar dari bibir Zie. Tapi amarah Nathan selalu bangkit tiap kali mengingatnya. Rasanya seperti baru kemarin. Amarah dan sakitnya bahkan masih terasa hingga kini.
Dan kini tiba-tiba saja Zie ada di hadapannya. Apakah ini takdir? Inikah kesempatan untuk membalas apa yang dulu Zie lakukan?
Tatapan John semakin tajam saat mengawasi Nathan. Sepupunya itu tampak marah. Kenapa? Apa dia marah pada Zie? Atau pada John karena cemburu?
"Apa aku harus terus mengulang pertanyaanku?" geram John dengan bibir menipis.
Seketika Nathan melepas kepalan tangannya lalu menoleh pada John, masih dengan senyum. "Kalau Zie tidak mengatakan seperti apa hubungan kami padamu, itu artinya dia tidak ingin kau tahu. Jadi sebaiknya lupakan saja."
John tidak suka pilihan kata Nathan. Seolah lelaki itu hendak mengatakan bahwa John tidak terlalu berarti bagi Zie hingga Zie merasa tak perlu menceritakan segalanya pada John.
Perasaan senang karena kedatangan Nathan seketika menguap. Meski mereka cukup akrab, bukan berarti mereka tidak pernah bertengkar. Nathan licik dan manipulatif. Sementara John keras kepala dan mudah tersulut emosi. Tak jarang pertengkaran mereka berujung baku hantam. Tapi pada akhirnya, mereka akan menganggap pertengkaran mereka konyol lalu menertawakannya bersama.
Sayangnya itu dulu. Apa silang pendapat kali ini juga akan berakhir sama?
"Ah, benar juga. Untuk apa Zie menceritakan tentang dirimu. Aku juga tidak menceritakan semua kenalanku pada Zie."
Nathan terkekeh. "Aku takut kami bukan sekedar kenalan biasa."
Tatapan John berubah semakin tajam. Ada sesuatu yang menggelitik memorinya. Sesuatu yang pernah dikatakan Zie namun ia anggap sebagai salah satu kebohongannya. Ah, mungkin Zie memang berbohong. Tapi mungkin juga dia memadukan kebohongan itu dengan kenyataan.
"Apa hubungan kalian?" nada suara John berubah dingin.
Seharusnya kedatangan Nathan kali ini adalah untuk mendampingi John melewati hari bahagianya. Tapi saat tahu bahwa calon istrinya adalah Zie...
"Dia adalah mantan istriku. Sekitar lima tahun yang lalu."
John melongo tak percaya. "Kau pernah menikah?"
Nathan berdecak. "Mana mungkin kau tidak tahu. Aku menikah tanpa restu Mama dan Papa. Mereka tidak menyukai Zie karena asal-usul dan pekerjaannya."
John kehilangan kata. Butuh waktu beberapa saat sampai akhirnya dia bisa bertanya, "Kau benar-benar menikahi wanita itu?"
Penolakan orang tua Nathan terhadap wanita yang ingin Nathan nikahi sudah bukan rahasia dalam keluarga mereka. Tapi tidak ada yang tahu rupa wanita itu termasuk orang tua Nathan sendiri. Sejauh yang John dengar, orang tua Nathan meminta bantuan seseorang untuk menyelidiki asal-usul kekasih Nathan dan langsung menolaknya begitu mendapat informasi. Mungkin nama wanita itu juga pernah disebut-sebut namun John tak ingat.
Nathan tersenyum getir. "Tapi tidak lama. Bahkan tidak sampai setengah tahun. Zie pergi begitu saja meninggalkanku. Setelahnya aku bahkan tidak tahu bagaimana dia membuat pengadilan menyetujui pembatalan pernikahan dan bukannya perceraian." Nathan angkat bahu.
"Kau setuju begitu saja?"
John sama sekali tak memercayai cerita itu. Kalau benar Nathan mencintai sang kekasih sampai menentang penolakan orang tuanya dan bahkan menikahinya tanpa restu mereka, bagaimana bisa hubungan mereka berakhir dengan sangat cepat?
Nathan tersenyum mengejek. "Apa yang kau harapkan? Aku berteriak dan merengek agar kami tetap bersama? Yang benar saja. Aku masih punya harga diri." Lalu dia mendesah. "Maaf membuatmu mendengar cerita seperti ini menjelang pernikahan."
John terdiam, berusaha mencerna cerita Nathan. Keraguan masih memenuhi benaknya. Dia masih berharap wanita yang diceritakan Nathan bukanlah Zie calon istrinya. "Dia tidak mungkin pergi begitu saja, kan? Pasti ada alasan."
"Kenapa tidak kau tanyakan sendiri padanya?" Nathan mendesah lalu berdiri. "Kamar itu yang kau bilang tadi, kan? Yang boleh kutempati?"
John hanya menoleh sekilas lalu mengangguk dan membiarkan Nathan pergi meninggalkannya.
Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam benak John. Semakin banyak bermunculan tiap satu pertanyaan mendapat jawaban dari hasil dugaannya. Namun John sadar bukan Nathan yang berhak memberikan jawaban. Melainkan Zie, calon istrinya.
---------------------------
Cuma sanggup segini -_-
~>> Aya Emily <<~~
KAMU SEDANG MEMBACA
The Baby's Father
ChickLitJonathan Fabian harus mengawasi secara langsung proyek pembangunan di lahan kosong yang baru dibelinya. Di sana dia bertemu seorang wanita dengan bayi mungilnya yang secara aneh langsung membenci John di hari pertama mereka bertemu. Tentu saja John...