11 || Tanggung Jawab

72 13 1
                                    

Ini hari ketiga dimana nek Ijah benar-benar tak pulang, bahkan hilang. Juga termasuk hari ketiga Vena dilanda sedih yang menjadi-jadi. Syukurlah, Vena adalah gadis yang cerdas. Bagaimana pun, ia harus tetap bekerja untuk makan. Ia tak boleh terlalu larut dalam kesedihan, ia tengah sekolah, dan sebentar lagi akan lulus lalu kuliah. Kuliah? Sepertinya hanya mimpi.

Kebetulan hari ini minggu pagi, Vena jadi leluasa bersih-bersih rumah. Selama kepergian nek Ijah, kondisi rumahnya sedikit kacau, Vena yang harus tetap sekolah lalu melanjutkan kerja dan pulang jika senja menyapa. Malamnya, Vena akan belajar lalu tidur, jika memang harus bersih-bersih, minimal ia menyapu lalu berangkat ke sekolah.

Vena terduduk setelah kegiatan bersih-bersihnya selesai, ia tersandar ditembok batu bata itu.

"Andai nenek gak ninggalin aku, pasti aku gak bakal kesepian kayak gini."

"Kalau emang nenek udah capek ngurusin hidup aku, nenek cukup bilang, biar gantian aku yang bakal ngurusin nenek. Bukannya ninggalin aku kayak gini, nek."

Vena menutup matanya, sejenak ia menghembuskan nafas pelan.

*Tok tok tok

Vena refleks membuka matanya, suara orang mengetuk pintu. Tanpa pikir panjang Vena berlari menuju pintu depan, dengan bersemangat ia membuka pintu.

"Nenek ken__,"

Vena tertegun, ini bukan neneknya. Tapi dua orang dewasa dengan jaket berwarna hitam, tak lupa wajah sangar dari mereka berdua.

"Keluar dari rumah ini!" gertak salah satu dari mereka, Vena mengernyitkan alis tak paham.

"Maksudnya? Saya gak ngerti pak,"

"Rumah ini kami sita! Nenek kamu punya utang dan sampai saat ini, dia belum melunasi utangnya. Dan sebagai gantinya, rumah dan tanah ini kami sita,"

"Jangan pak, saya gak punya tempat tinggal lagi. Nenek saya gak tau kemana, saya sendirian. Tolong mengerti keadaan saya, pak." Vena memohon, kedua lelaki dewasa itu mendorong Vena hingga berakhir dilantai. Tanpa izin, mereka masuk kedalam rumah, sementara gadis itu masih mengaduh kesakitan.

"Pak, tolong jangan ambil rumah saya. Ini harta satu-satunya yang saya punya," detik ini Vena telah menangis, ia tidak akan membiarkan rumahnya diambil begitu saja. Bagaimanapun, banyak kenangan yang ia lewati bersama keluarganya dirumah ini.

"Pak, saya usahakan akan bayar utang nenek saya. Tapi jangan ambil rumah ini, saya gak tau mau tinggal dimana lagi kalau rumah ini disita, pak." Vena terus memohon.

"Yakin kamu bisa bayar? Lima ratus juta!, bisa bayar hahh? Rumah dan tanah ini saja tidak seberapa dengan utang nenek kamu. Untung saja saya hanya mengambil rumah dan tanah, saya bisa saja menjual kamu juga jika saya mau!" Vena spechless, matanya membulat, lima ratus juta? Dimana ia bisa mendapat uang sebanyak itu.

"Tapi saya mohon pak, jangan ambil rumah ini. Saya mau tinggal dimana, saya orang susah, gak punya uang, beri saya waktu untuk melunasinya, pak." Vena memohon di kaki pria itu, gadis itu terus menangis.

"Hallahhh, tidak ada waktu lagi. Keluar kamu sekarang!!" gertak pria yang satu lagi. Vena ditendang, tubuh gadis itu terpental cukup jauh.

"Tapi, pak." Vena terisak, ia tak masalah dengan tubuhnya saat ini. Ia sudah cukup tersiksa dengan hidup sebatang kara, ia tak ingin jadi anak jalanan.

"Saya beri kamu waktu 5 menit, ambil baju kamu dan keluar dari rumah ini! Sebelum saya bertindak secara kasar,"

Dengan langkah gusar, Vena mengambil tas sekolahnya. Gadis itu memasukkan beberapa pakaian, pipinya banjir air mata, ia memutar pandangannya melihat setiap sudut rumahnya, rumah yang menyimpan seluruh kenangan bahagia bersama keluarganya.

VenArthery X - (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang