29. Senja & Bintang

6.4K 714 143
                                    

29. SENJA & BINTANG.

"Senja yang paling indah itu lo,"

"Pandangi langitnya, tapi jangan hitung berapa jumlah bintangnya. Karena lo gak akan pernah sadar kalau lo salah satu dari mereka,"

— Dari Ali untuk Prilly

****

Di sebuah ruangan yang cat putih menjadi dominan nya, Terdapat seorang seorang gadis SMA, Mama dan juga ayahnya. Dengan posisi si anak yang tengah menunduk karena penuturan sang ayah yang membuatnya benar benar tak siap.

"Apa enggak ada jalan lain selain aku harus pergi ke luar negeri?" Tanya Nayya dengan nada yang tersirat sebuah harapan besar di dalamnya. Barusan sebelum Nayya berangkat, Papa nya memanggil Nayya untuk menghampirinya ke ruang kerja.

Hendra—Papa Nayya menggeleng. Ia menatap putri nya sedih. Di umur yang masih sangat muda seperti ini, Ia harus di hadapkan dengan ujian yang sulit. Kalau boleh memilih, Lebih baik Hendra saja yang sakit, Jangan Nayya.

"Papa enggak mau penyakit ini terus menggerogoti tubuh kamu. Papa gak bisa nunggu lagi donor hati disini. Jalan nya cuma pergi ke luar negri. Mungkin di sana, kamu bisa sembuh," Jelas Hendra. Sungguh, Nayya sangat tidak siap untuk meninggalkan Indonesia. Impian Nayya untuk bisa satu universitas dengan Ali lenyap begitu saja.

"Aku tau ini untuk kebaikan aku juga. Tapi aku gak siap untuk ninggalin Indonesia. Papa sama mama tau sendiri kan?"

Killa-Mama Nayya mengangguk paham, Tangan wanita paruh baya itu mengelus lembut rambut putrinya. "Kami sangat paham. Tapi ini bukan waktunya untuk egois. Nyawa kamu yang jadi taruhan nya. Lagipula, Kita berangkat setelah kamu lulus. Kamu masih punya banyak waktu buat kumpul sama temen temen," Ujar Killa.

Nayya hanya bungkam. Pikirannya bercabang. Ia hanya punya waktu beberapa bulan lagi di Indonesia sebelum akhirnya pergi ke Swiss. Mengingat, Sebentar lagi ujian nasional.

"Apa masalahnya ada pada Ali? Papa bisa bicara sama Ali untuk minta dia ikut ke Swiss bersama kita. Kalau perlu kalian menikah disana," Kata Hendra. Tentu saja itu membuat Nayya membelalakkan matanya kaget.

"Kita masih sangat muda untuk menikah, Pa. Lagipula aku gak tau Ali mau atau enggak nikah sama aku. Dan kalaupun mau, resiko untuk Ali besar banget..." Nayya menjeda sebentar ucapannya.

"Aku gak bakal bisa nemenin dia buat waktu yang lama. Aku gak bisa nemenin dia sampai tua," Lanjut Nayya. "Mama benar benar gak suka kamu bicara seperti itu, Nayya. Kalau dari diri kamu saja tidak percaya, gimana kamu bisa sembuh?" Killa memijit pelipisnya pusing. Putrinya ini suka sekali bicara yang aneh aneh.

"Aku percaya bisa sembuh kok. Aku cuma mencoba buat berpikir realistis aja," Balas Nayya. "Papa serius dengan ucapan papa yang tadi. Papa akan bicara sama Ali,"

Nayya menggeleng cepat. "Papa! Gak gitu juga caranya. Gak dengan bawa Ali ikut kita ke Swiss. Gimana orang tua nya nanti?"

"Kami bisa bicarakan itu dengan Syarief dan Resi. Mereka pasti paham dan mau mengizinkan Ali ikut sama kita," Timpal Killa. "Ma, Pa.. Please.. Aku tau pasti Ali punya impian yang pengen banget dia wujudkan disini, Di Indonesia. Kalau kita bawa dia ke Swiss, terus gimana sama mimpi mimpi dia?"

UNEXPECTED MARRIAGE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang