Rea terjaga, dan mendapati dirinya yang kini sudah berada di atas ranjang. Timmy yang tadinya berwajah murung, kini mendadak tersenyum sumringah.
Harrel yang membantunya untuk mengangkat tubuh Bundanya ke kamar, pasca pingsan tadi. Pria itu langsung pergi tanpa mengucap sepatah katapun.
"Bunda sakit?" tanyanya. Sementara Rea, malah tampak termenung.
"Bunda?" panggil gadis itu, sembari melambaikan tangannya di hadapan Rea.
Rea mengerjap beberapa kali. Kepalanya terasa pusing. Wanita itu mencoba bangkit, merubah posisinya menjadi duduk. "Timmy belum makan 'kan? Sekarang, ganti baju, abis itu langsung makan."
Timmy tidak menjawab. Ia malah menatap Bundanya heran.
"Bunda demam?"
Rea menggeleng. "Gih, bersihin dulu badannya. Keburu malam."
Timmy mengembuskan napas pasrah. Ia bangkit, dan beranjak menuju kamarnya. Entah apa yang terjadi dengan Bundanya. Ia tidak mengerti.
Sepeninggal Timmy, Rea dengan cepat beranjak menuju rak buku. Tidak peduli dengan rasa pusing di kepalanya. Wanita itu menyingkirkan beberapa buku tebal di salah satu rak paling ujung. Di dalamnya terdapat sebuah ruang kecil. Ruang yang sengaja ia isi dengan beberapa benda penting.
Benda itu, adalah peninggalan Zay.
Zay ... Kakak Kelas yang pernah ia kagumi di masa SMA, sekaligus lelaki yang pernah mengorbankan organ hati untuknya.
Rea meraih sebuah replika pohon. Itu adalah kado ulangtahun pertama dan terakhir yang diberikan lelaki itu padanya dulu. Rea menatapnya lekat. Sudah sangat lama, ia tak menyentuh benda itu. Sudah sangat lama pula, Rea tidak memedulikan benda itu. Bertahun-tahun berlalu, dan Rea nyaris lupa dengan lelaki itu berkat keberadaan Vano, suaminya
Wajahnya tampak pucat. Pikirannya terputar ke belakang. Tepatnya saat beberapa menit yang lalu. Tentang seorang pria yang wajahnya sangat mirip dengan Zay.
Apakah Zay kembali?
Itu tidak mungkin! Lelaki itu sudah tiada!
Pintu kamarnya tiba-tiba saja terbuka. Vano datang dengan tergesa. "Han..."
Rea terlonjak kaget, dan dengan cepat meletakkan replika pohon itu ke tempat semula lantas kembali menutupinya dengan buku-buku tebal. Vano tidak boleh tahu akan hal ini.
Pria itu kini tiba di hadapannya. Vano menangkup wajah istrinya. Raut khawatir tercetak jelas di wajah tampannya. Vano tentu saja cemas dengan istri kesayangannya.
Pria itu memeluknya. "Tiga bilang, tadi kamu pingsan. Kamu sakit? Kenapa gak bilang, Han. Aku gak suka kamu nutup-nutupin sesuatu kayak gini."
Rea terkekeh pelan. "Gak usah lebay deh, Mas. Paling juga kecapekan."
Vano menguraikan pelukannya. Pria itu menatap istrinya intens. "Capek? Kamu capek gara-gara tadi malam? Kita mainnya kelamaan- Aduh!" Vano mengaduh saat mendapati pukulan kecil dari istrinya.
"Apasih, Han. Aku bener kan? Tadi malam mainnya keenakan, sampai lupa waktu."
"TOMMY!!!"
***
Timmy baru saja memasuki kamarnya. Sebuah pantulan bayangan hitam di jendela, membuatnya penasaran. Gadis itu menyibak tirai. Seorang lelaki kini membelakanginya. Masih menggunakan seragam sekolah yang sama, Timmy tahu persis siapa orang itu.
"Dua?"
Lelaki itu berbalik, menghadapnya. Terpancar aura mencekam di wajahnya.
"D-dua, l-lo kenapa?"
![](https://img.wattpad.com/cover/226892377-288-k854760.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga [Sudah Terbit]
Novela Juvenil[SEBAGIAN PART DI-UNPUBLISH UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN] SEQUEL of FIREFLIES Satu ... Dua ... Tiga ... Empat. Tiga adalah tokoh utama di dalam cerita ini. Eits! Tiga di sini bukan angka loh ya. Dia Tiga, si gadis aneh, konyol dan menyebalkan. Tiga...