Bagian 36

22.7K 3.6K 1.1K
                                        

Sebulan berlalu...

Perkembangan nilai Timmy cukup melesat, terlebih di pelajaran Kimia. Gadis itu sedang menatap selembar kertas hasil ulangannya dua hari yang lalu dan baru dibagikan hari ini. Sean di sampingnya juga ikut tersenyum bangga.

Sebuah tinta merah bertuliskan nilai 55 itu, sudah cukup membuat seorang Timmy tersenyum puas. Meskipun masih tergolong remedial, namun Timmy sama sekali tak menyesal, karena nilai 55 yang ia dapat itu murni hasil kerja keras belajarnya di malam hari.

Selama di Semester Ganjil lalu, Timmy kerap mendapat nilai dibawah 80 pada pelajaran Kimia, baik di latihan, pr, ulangan, maupun remedial. Ya, meskipun gadis itu menyalin tugas milik Sean, namun yang disalin Timmy tidak sepenuhnya benar. Kadang, Timmy melupakan tanda koma pada penggunaan angka di bagian hasil. Seperti angka 3,56, terkadang Timmy menuliskan 356. Ya ... menyalin tugas berbau angka, memang sesensitif itu.

"Ayo ke kantin. Gue traktir," ucap Sean.

Mendengar kalimat itu, tentu saja kedua mata Timmy berbinar ceria. Namun, sedetik kemudian, raut wajah berserinya hilang. "Harusnya, Tiga yang traktirin Satu. Kan Satu yang ngajarin Tiga sampai dapet nilai segini."

"Gapapa. Jarang-jarang gue traktir lo kan?"

"Iyasih. Eh, tapi gini aja deh. Satu bayarin makanannya, Tiga yang bayarin minumannya. Gimana?"

Sean tersenyum sekilas. "Oke."

Keduanya melenggang pergi keluar kelas. Sementara di kursi deretan belakang, seseorang menatap mereka dengan sinis. Kedua tangannya terkepal kuat.

***

Malamnya, Sean tak bisa datang ke rumah sepupunya karena Anna meminta untuk menemaninya berbelanja keperluan pokok. Leo adalah sosok yang pekerja keras. Pria itu kerap pulang larut malam. Beruntungnya Anna dikaruniai anak lelaki yang bisa diandalkan seperti Sean.

Sementara Timmy, gadis itu sedang berdiri di tengah kamarnya, bergeming sejak lima menit lalu. Timmy bingung, apa yang akan dilakukannya malam ini? Biasanya di jam segini, dia dan Sean sedang belajar di ruang tamu. Namun untuk malam ini, Sean sedang cuti untuk mengajarnya.

Detik selanjutnya, kakinya melangkah ke arah jendela kamar. Daripada berdiri tidak jelas seperti tadi, lebih baik ia gunakan waktunya untuk hal yang lebih bermanfaat. Seperti duduk selonjoran di jendela kamar, misalnya.

Tepat saat Timmy menyibak tirainya, gadis itu terlonjak kaget.

"Setan!" ceplosnya. Bagaimana tidak? Di hadapannya saat ini, seseorang sedang berdiri, sembari menyorotkan tatapan tajam padanya. Detik selanjutnya, Timmy mengembuskan napas lega. "Dua?! Kok gak diketok sih? Gue kira beneran setan!"

Diga bergeming. Kedua matanya masih senantiasa menatap Timmy. Timmy yang merasa jengah pun memilih untuk membuka pengait jendela dan membiarkan benda itu terbuka lebar-lebar.

"Hello Dua?" Timmy melambaikan tangannya tepat di hadapan Diga. "Lo kesurupan ya?"

"Gue kira lo udah lupain gue," sahut Diga dengan nada dingin. Tumben sekali.

Timmy mengernyit heran. "Mana mungkin gue bisa lupa sama lo, Dua."

"Keluar. Gue mau bicara."

"Oke." Gadis itu lantas melompati jendela kamarnya tanpa sungkan. Sudah lama ia tidak melakukan itu.

Tak butuh waktu lama, Timmy kini sudah berada di hadapan Diga. Keduanya sama-sama memilih bungkam untuk beberapa saat, hingga akhirnya Diga bersuara lebih dulu. "Lo berubah!"

Timmy cukup terkejut, namun ia memilih untuk tidak menggubris ucapan lelaki itu. Diga lantas melanjutkan ucapannya,

"Sadar gak sih? Lo lebih banyak ngeluangin waktu buat Sean. Lo kayak beneran lupa sama gue. Tiap jam istirahat, yang pertama kali lo cari itu Sean. Di rumah juga gitu. Lo pikir gue gak sering merhatiin lo? Tiap malem, Sean selalu main ke rumah lo. Sean-Sean-Sean mulu di otak lo! Gue kayak gak ada artinya lagi buat lo." Diga mengutarakan segala rasa sakit yang dipendamnya. Cukup berlebihan memang, namun apa salahnya? Toh, Diga juga manusia normal.

Tiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang