Paginya, Timmy sengaja berangkat lebih awal. Matanya sembab. Perutnya lapar, karena semalam dia mengurung diri di kamar, menangisi kepergian barang-barang kesayangannya sepuasnya. Dan tidur di pukul tiga pagi.
Gadis itu membuka garasi. Lantas mengambil sepeda listriknya. Timmy akan pergi ke sekolah tanpa izin pamit dari kedua orang tuanya. Seharusnya dia diantar oleh Vano, namun tidak. Dia sedang dalam mode ngambek. Persetan pula dengan Sean dan Diga. Timmy akan berangkat sekolah sendirian. Untuk resiko besar yang akan diterimanya nanti di jalan raya, dia pasrah.
Sepuluh menit berlalu. Timmy akhirnya sampai dengan selamat di sekolah. Ia memarkirkan sepeda listriknya di tempat biasa. Dia berjalan gontai menuju kelas. Wajah cerianya hilang. Moodnya memburuk.
Tak sengaja ia menoleh ke samping. Tepatnya pada jendela kelas. Samar-samar, ia melihat pantulan dirinya.
Tunggu!
Timmy berhenti dan menatap pantulan dirinya lamat-lamat.
Sial!
Ia lupa melepas helm!
Karena terbiasa pulang-pergi menggunakan mobil, ia jadi lupa jika sedang menggunakan helm saat ini. Dengan gerakan lemas, ia melepas helmnya. Untung saja tidak ada orang yang melihatnya.
Timmy menggandeng helmnya, lantas berbalik menuju parkiran. Pikirannya kacau saat ini.
Setelah meletakkan helmnya di kaca spion bagian kanan, Timmy kini menatap pantulan wajahnya di spion kiri.
Wajahnya tampak buruk.
Timmy menelungkupkan kepalanya pada stang kendaraannya. Matanya mulai mengantuk. Namun perutnya lagi-lagi merasa lapar.
Gadis itu mendongak, lantas mengerjap beberapa kali. Kantin. Ya, dia harus ke sana sekarang.
Saat hendak bangkit, manik matanya menatap sesuatu yang tak asing di keranjang bagian depannya. Ia merasa seperti deja vu. Terlebih itu adalah sebuah gulungan kertas berpita merah.
Timmy mengurungkan niatnya untuk pergi ke kantin. Tangannya bergerak membuka gulungan kertas itu.
Dan benar saja. Dia pernah membaca kalimat di surat itu. Kalau tidak salah, itu adalah gulungan kertas kedua yang ia terima. Tapi, bukankah ia memberikannya pada Sean? Kenapa gulungan kertas itu bisa kembali lagi, di tempat yang sama pula.
***
Timmy berjalan menenteng satu cup pop mie di tangan kanan, dan teh hangat di tangan kirinya. Sebenarnya teh hangat itu tidak dijual di kantin. Namun, karena Timmy berhasil menarik simpati Ibu kantin sejak pertama kali menjejakkan kaki di sekolah itu, jadilah beliau sudi menjualkan teh hangat khusus untuk dirinya saja.
Di dalam cup makanannya juga terdapat dua gorengan. Semua itu sudah cukup untuk mengganjal rasa laparnya di pagi hari. Gadis itu berjalan menuju belakang sekolah. Ia tidak ingin makan di kantin. Ia hanya butuh suasana yang sepi.
Timmy mendaratkan bokongnya pada teras pembatas yang sedikit lebih tinggi dari tanah yang ia pijak.
Tangannya bergerak mengaduk mie yang masih mengeluarkan hawa panas. Cacing di perutnya sudah tidak sabar untuk mendapat jatah.
Setelah membaca do'a makan, Timmy mencomot satu gorengan. Lantas meminum teh hangatnya. Ia kembali memakan mie instannya.
Beban pikirannya kini bertambah. Terlepas dari pertengkarannya dengan Papinya, permasalahan gulungan kertas berpita merah itu kembali menghantuinya.
Timmy meletakkan makanannya, lantas merogoh sesuatu pada saku roknya. Tiga gulungan kertas berpita merah kini sudah ada di tangannya. Ia selalu menyimpan dua gulungan kertas lainnya di dalam tas. Dan tadi, Timmy membawa semuanya saat keluar dari kelas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga [Sudah Terbit]
Teen Fiction[SEBAGIAN PART DI-UNPUBLISH UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN] SEQUEL of FIREFLIES Satu ... Dua ... Tiga ... Empat. Tiga adalah tokoh utama di dalam cerita ini. Eits! Tiga di sini bukan angka loh ya. Dia Tiga, si gadis aneh, konyol dan menyebalkan. Tiga...