Jam istirahat telah berbunyi. Sean beranjak dari duduknya. Sejak pagi tadi, lelaki itu belum menyapa Timmy. Begitu pula dengan Diga. Sementara Timmy, memilih untuk tidak peduli.
Apa itu karma karena dia sudah melawan dengan kedua orang tuanya?
Timmy memejamkan matanya. Lantas membukanya kembali. Di hadapannya, tiba-tiba saja ada Diga. Ya, lelaki itu menduduki kursi Edo.
Timmy berpura-pura tak acuh. Seharusnya saat ini dia pergi ke ruang guru, guna menuntaskan hukumannya dari Pak Ali. Namun tidak. Maaf saja, meski terlahir dari kedua orang tua yang berotak cerdas, Timmy sama sekali tidak menuruni kecerdasan mereka. Sebenarnya Timmy bisa saja menjadi pintar, jika saja dia rajin belajar seperti Sean. Namun sejak kecil, dia sudah terbiasa untuk mengikuti jejak Diga. Pemalas dan lebih suka bermain.
Sebentar lagi, dia akan beranjak ke ruang guru, guna meminta dispensasi untuk mengganti hukumannya. Apa saja, asal jangan disuruh menghapal. Timmy muak dengan hapalan.
"Gue yang digebukin bokap lo, kenapa malah lo yang nyuekin gue?" ucap Diga. Lelaki itu menopang dagunya pada kepala kursi.
Timmy masih bungkam. Diga mengernyit heran. Ini bukan Timmy yang dia kenal.
"Masih nyut-nyutan nih." Diga menyentuh pipinya. "Kalau diobatin pakai bakso kantin, pasti sembuh."
Timmy lagi-lagi tidak menggubris ucapannya. Gadis itu kini beranjak. Diga semakin mengernyit heran.
"Lo kenapa sih?" tanya Diga, sekali lagi. "Oh, gue ngerti. Lo marah soal kejadian semalam kan? Oke, gue bakal jelasin. Lo duduk dulu." Diga meraih tangan Timmy, namun langsung ditepis oleh gadis itu.
"Sorry, Dua. Gue yang harusnya minta maaf." Timmy menarik napasnya sejenak. "Papi ... udah bakar semuanya."
Kedua bola mata Diga membulat, kaget. Sementara Timmy, melanjutkan langkahnya lagi. Diga bersuara, "Maksud lo?"
Timmy yang sudah berjalan beberapa langkah, kini berhenti. Ia menarik napasnya, lagi. "Seragam, sepatu, wig, semuanya udah dibakar sama Papi."
Setelah mengatakan itu, Timmy kembali melanjutkan langkahnya. Tangan kanannya memegang selembar kertas berisi tabel periodik. Dia akan pergi ke ruang guru.
Diga tertegun. Ia tak menyangka Vano akan melakukan itu. Timmy pasti sangat terpukul. Diga sendiri yang menemani gadis itu untuk membeli perlengkapan futsal beberapa bulan yang lalu. Gadis itu sangat bahagia, apalagi jika Diga mengajaknya untuk ikut bermain futsal dengan teman-teman lainnya. Seragam futsal itu punya arti penting untuk Timmy. Mengingat gadis itu rela keluar rumah di malam hari hanya untuk bermain futsal. Banyak perjuangan yang Timmy lakukan dengan seragam futsal itu. Dan kini, semuanya lenyap dalam satu waktu.
***
Timmy melangkah ke luar kelas. Tidak ada raut wajah jenaka terpatri di sana. Beberapa teman laki-laki sempat menyapanya, namun Timmy hanya membalas sekedarnya saja.
Di depannya, Sean berjalan ke arahnya. Timmy hanya menatapnya saja. Biasanya dia akan heboh, terlebih saat ini, Sean sedang membawa bungkusan yang berisi makanan, beserta minuman yang Timmy duga adalah teh hangat.
Timmy menghentikan langkahnya, karena Sean kini berdiri di hadapannya. Gadis itu menggeser langkah ke kanan, namun Sean mengikutinya. Ia beralih untuk menggeser langkah ke kiri, sama saja. Lagi-lagi Sean mengikutinya.
Timmy mengembuskan napasnya sejenak. Baru saja ia hendak berbicara, Sean memotongnya lebih dulu.
"Tante Rea bilang, lo belum makan dari tadi malam," ucap lelaki itu. "Lo bertengkar sama Om Vano?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga [Sudah Terbit]
Genç Kurgu[SEBAGIAN PART DI-UNPUBLISH UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN] SEQUEL of FIREFLIES Satu ... Dua ... Tiga ... Empat. Tiga adalah tokoh utama di dalam cerita ini. Eits! Tiga di sini bukan angka loh ya. Dia Tiga, si gadis aneh, konyol dan menyebalkan. Tiga...