Bagian 14

32.6K 4.3K 803
                                    

"Saya hitung sampai tiga, jika tugasnya tidak dikumpul, silakan tulis ulang sebanyak tiga kali lipat!" sahut Pak Ali di depan kelas.

Pelajaran Kimia memiliki jadwal dua kali dalam seminggu. Rentang harinya juga cukup berdekatan, yaitu hari Selasa dan Kamis. Dan hampir setiap kali perjumpaan, mereka diberi tugas, yang jika tidak sempat dikerjakan hari itu juga, maka akan dikumpul pada perjumpaan selanjutnya.

Sialnya, tugas kali ini malah dikumpul sekarang juga.

Semua murid sibuk menyalin tugas milik orang pandai. Dari tiga puluh lima murid di kelas itu, hanya dua orang yang cukup pandai di bidang Kimia. Dua orang itu pulalah satu-satunya harapan para murid untuk menjadi sumber contekan. Siapa lagi jika bukan Sean dan Dinda.

Kaum perempuan sibuk mengerubungi meja Dinda guna menyalin jawaban. Sedangkan kaum laki-laki, sibuk pula mengerubungi meja Sean.

Pak Ali hanya menatap kelakuan murid-muridnya dari kursi guru dengan santai. Kebiasaan mencontek seperti itu, sudah biasa ia saksikan hampir di semua kelas.

"Satu..." Pak Ali mulai menghitung.

Satu-persatu kaum perempuan mulai mengumpul buku tugas mereka. Tidak peduli apakah hasil contekan itu benar atau salah. Asal nilai tidak kosong di buku catatan guru, itu sudah membuat mereka bersyukur.

"Dua..." Pak Ali mulai mengemas barang-barangnya. Kaum laki-laki kini juga sudah mengumpul buku tugas.

Sementara Timmy, masih berkutat dengan buku Sean di hadapannya. Daritadi dia kesulitan menulis karena berdesakan dengan yang lainnya demi menyalin hasil jawaban Sean.

"Tinggal berapa nomor lagi?" tanya Sean, di sebelahnya.

"Tinggal dikit, bentar lagi siap kok," jawab Timmy.

Timmy menulis beberapa angka berkoma di atas lembar bukunya. Tiba-tiba, tangannya terasa kaku. Tidak bisa digerakkan.

"Cepat kumpulkan, atau tulis ulang tugas itu sebanyak tiga kali lipat," sahut Pak Ali, lagi.

Timmy panik. Tinggal sedikit lagi, maka tugasnya akan selesai. Namun sial, tangan kanannya malah tidak bisa bergerak.

"Kok malah bengong?" Sean sedaritadi memang memerhatikan gadis itu. Melihat tangan Timmy yang berhenti menulis, Sean tentu tidak bisa tinggal diam.

"Biar gue lanjutin." Sean mengambil alih buku tugas milik Timmy.

"Enggak, Satu! Kumpulin aja," elak gadis itu.

"Kumpulin gimana? Ini nanggung loh, dikit lagi selesai."

"Udah, Satu! Nanti tugas kita malah gak diterima sama Pak Ali."

Benar saja. Di depan sana, Pak Ali sudah bersiap-siap untuk melangkah keluar kelas.

"Cepet, Satu!" Timmy sedikit berteriak pada sepupunya itu. Mau tak mau, Sean menurut. Lelaki itu beranjak sambil membawa dua buku tugas dan mempercepat langkahnya sebelum Pak Ali keluar dari kelas.

Sementara Timmy, gadis itu menatap tangan kanannya dengan nanar. Masih belum bisa bergerak. Tangannya masih terkepal memegang pulpen. Ia mendadak was-was. Perasaan takut kini menghantuinya. Dia belum pernah merasakan seperti ini sebelumnya.

"Ada yang sakit?"

Timmy tersentak, saat Sean tiba-tiba saja sudah kembali. Lelaki itu menatapnya heran. Timmy langsung menurunkan tangan kanannya. Gadis itu menggeleng.

"Yakin?" tanya lelaki itu lagi.

Timmy bungkam. Gadis itu menatap lurus ke depan. Ia merapalkan ayat suci di dalam hati. Tentu saja dia cemas dengan keadaan tangan kanannya yang tiba-tiba saja kaku, tidak bisa digerakkan.

Tiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang