Bagian 21

27.3K 4.1K 1.1K
                                        

Dengan berbalut pakaian olahraga, serta beberapa tetes keringat yang mengalir di dahinya, Timmy tampak antusias. Gadis itu menendang bola yang baru saja dioper Edo padanya.

Di pelajaran olahraga kali ini, tim dibagi menjadi dua bagian. Tim futsal dan tim basket. Anak perempuan kompak menguasai permainan basket di sisi barat lapangan. Dan anak laki-laki kompak pula menguasai lapangan di sisi timur dengan bermain futsal. Sean juga ikut andil dalam bermain futsal. Termasuk Timmy, tentunya.

Tidak ada yang melarang gadis itu. Lagipula, Timmy sudah lama tidak bermain bola. Semenjak perlengkapan futsalnya dimusnahkan oleh Vano, Timmy sama sekali belum pernah mengikuti futsal. Diga pun trauma mengajak gadis itu untuk ikut ke arena futsal.

Ngomong-ngomong tentang Diga, lelaki itu masih belum bicara pada Timmy semenjak hari Sabtu. Timmy baru berjumpa dengannya pagi tadi, karena semalam ia diajak jalan-jalan oleh orang tuanya.

Tidak ada perbincangan sama sekali di antara mereka. Timmy dan Diga belum bertegur sapa. Biasanya, Diga akan marah jika Timmy nekat turut serta saat bermain futsal di sekolah. Namun, kali ini tidak. Diga tampak cuek bebek.

Timmy tetap asik berlari mengejar bola, meski dadanya terasa sesak. Gadis itu berhenti sejenak, mengatur napasnya. Sesekali Timmy menyeka keringat dan mengipasi wajahnya. Bermain futsal memang benar-benar seseru itu!

"Tiga, awas!" Edo berteriak kencang. Beberapa anak laki-laki kini berhenti berlari, dan menoleh ke arahnya.

Sebuah bola basket melesat dengan cepat dan menghantam punggung Timmy. Gadis itu terhempas ke lantai dengan keadaan tertelungkup.

Anak perempuan yang melihat itu, cepat-cepat melarikan diri dari lapangan. Intinya, salah satu dari merekalah yang tak sengaja melempar bola basket itu.

Sementara anak laki-laki, kini sibuk mengelilingi Timmy. Diga lebih dulu turun tangan, membalikkan tubuh Timmy dan menaruh kepala gadis itu di pangkuannya.

Kedua mata Timmy terbuka kecil.

"Apa yang sakit?!" Diga mengguncang bahu Timmy pelan. Lelaki itu panik. Karena Timmy tak kunjung menjawab ucapannya.

"Tiga, jawab!"

Kelopak mata Timmy masih terbuka. Namun bibirnya terkatup rapat. Tubuhnya terasa kaku. Lagi. Bukan hanya tangan, namun seluruh tubuhnya seperti mati rasa. Dia bahkan tak mampu membuka mulutnya untuk berbicara. Hidungnya terlihat kembang-kempis.

Emosi Diga membuncah. Lelaki itu meletakkan Timmy di lantai. Dia bangkit, lantas berjalan ke arah Edo. Tanpa aba-aba, Diga menarik kerah baju lelaki itu.

"Bangsat! Gak guna lo!"

"Kenapa malah gue yang salah, Dig?!" sahut Edo tak terima.

"Kalau emang lo lihat bola itu mengarah ke Tiga, kenapa lo gak nyelamatin dia? Bego! Gak guna!" Diga semakin mempererat cengkramannya.

"Diga!" Sean datang, melerai Diga. "Edo gak salah di sini!"

"Oh, gitu?" Diga melepaskan cengkramannya pada Edo. Ia beralih pada Sean. "Kalau gitu, lo yang salah! Tiga itu sepupu lo! Kenapa lo gak ngelarang dia ikutan main futsal?! Kenapa malah lo biarin! Sepupu macam apa lo setan!" Diga mendorong bahu Sean sedikit kasar.

Sean menatap Diga dengan tatapan menantang. "Kenapa bukan lo yang larang?"

Diga bungkam. Jelas-jelas dia sedang tidak bertegur-sapa dengan gadis itu!

"Sebelum lo nuduh orang lain, mending introspeksi diri lo sendiri. Lagian ini cuma kecelakaan kecil, Dig! Timmy itu cuma kena bola basket."

"Kecelakaan kecil lo bilang? Emang gak ada otak lo ya, Sean! Sepupu lo hampir mati dan lo bilang ini cuma masalah kecil?!"

Tiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang