Esoknya, ketika Timmy hendak pergi sekolah, ia tak lagi melihat Sean di pekarangan rumah sebelah. Biasanya, saat dia diantar oleh Papinya, Sean juga ikut membuntutinya dari belakang. Kini, Timmy benar-benar sendiri. Kemarin, dia menemani Sean di rumah sakit hingga pukul 10 malam.
Tak ada yang bisa Timmy lakukan kecuali menyampaikan beribu maaf kepada Anna - Mamanya Sean. Anna bahkan nyaris pingsan ketika mendengar putra satu-satunya mengalami cedera di sekolah. Hingga saat ini, Sean belum juga sadarkan diri. Dokter mengatakan bahwa benturan di kepala Sean lumayan kuat. Timmy tak bisa mendengar apa-apa lagi. Dia tak sanggup. Yang dia inginkan hanyalah Sean kembali sembuh, dan bisa bersamanya kembali.
Setelah turun dari mobil Vano, Timmy melangkah masuk ke gerbang sekolah. Saat itu, jam menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit. Sekitar lima menit lagi, bel masuk akan berbunyi. Sudah banyak murid yang berdatangan di pukul segitu. Timmy menoleh ke kanan-kiri. Beberapa pasang mata menatapnya sambil berbisik-bisik. Timmy mengulum bibirnya. Kedua tangannya mencengkram erat tali ranselnya.
Bahkan ketika Timmy memasuki kelas pun, orang-orang sontak menatapnya dengan tatapan yang ... entahlah. Di meja deretan depan, lebih tepatnya meja Dinda, anak-anak perempuan sudah sibuk berkumpul.
Timmy melangkah mantap menuju kursinya di deretan belakang. Ia lantas mendaratkan bokongnya di sana. Beberapa perempuan yang sedang berkumpul itu kini menatapnya sinis. Namun Timmy tak terpengaruh sama sekali. Dia sudah biasa mendapatkan tatapan itu dari Dinda.
"Oh, ternyata dia pelakunya! Sumpah ya, rasanya pengen gue cakar-cakar aja mukanya sekarang juga!
"Mulut gue gatel banget pengen hujat dia!"
"Gue gak habis pikir, dimana sih letak hatinya? Kenapa bisa tega banget sih, celakain sepupunya sendiri?! Idiot!"
Timmy dapat mendengar dengan jelas perkataan pedas dari kaum betina itu. Timmy menatap mejanya dengan hampa. Ia sibuk meremas kedua tangannya.
"Budek apa gimana sih? Heran gue! Ada gitu ya, manusia yang gak mempan disindir kek dia."
"Dih, pura-pura tegar. Punya dosa apasih gue, bisa dapet temen sekelas kayak dia."
"Polos-polos berjiwa psikopat. Tiati guys, ntar kalian pada kena santet."
"Gue yakin, notif Instagramnya pasti jebol karena klarifikasi itu."
Timmy meremas kedua tangannya dengan kuat. Pikirannya berkelana kemana-mana. Dia tentu masih memikirkan kondisi sepupunya. Ia meneguk salivanya berkali-kali. Meskipun Timmy bukan gadis yang cerdas, tapi dia tahu, bahwa banyak orang-orang yang membencinya. Perkataan pedas yang dilayangkan para betina itu, jelas ditujukan untuknya. Timmy bukan tipikal gadis kesetanan yang langsung melabrak siapapun yang menghujatnya. Namun dia bukan juga gadis bego yang mudah ditindas. Timmy adalah Timmy. Ia lebih senang menyimpan unek-uneknya dan menceritakannya pada Sang Pencipta di setiap do'anya. Semoga Tuhan membalas perlakuan makhluk bumi itu.
Tak lama setelah itu, bel masuk berbunyi, dan para betina itu sontak membubarkan diri.
***
Saat jam istirahat, Timmy tak menyentuh bekal makanannya sama sekali. Gadis itu melangkah keluar kelas. Sebelah tangannya menggenggam ponsel. Setibanya di samping Labor Kimia, Timmy lantas mendudukkan dirinya di atas lantai. Ia melakukan itu demi mendapatkan tebengan WiFi. Sejak semalam, Timmy sama sekali tak menyentuh ponselnya. Dan kini, ponselnya bergetar tak henti-hentinya. Notifikasi yang didominasi dari aplikasi Instagram itu membuat Timmy mengernyit heran.
Setelah dibuka, ternyata banyak DM masuk dari berbagai akun yang tak dikenalnya. DM itu bukan hanya berisi pesan, namun juga pemberitahuan bahwa dirinya ditandai dalam sebuah insta story.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga [Sudah Terbit]
أدب المراهقين[SEBAGIAN PART DI-UNPUBLISH UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN] SEQUEL of FIREFLIES Satu ... Dua ... Tiga ... Empat. Tiga adalah tokoh utama di dalam cerita ini. Eits! Tiga di sini bukan angka loh ya. Dia Tiga, si gadis aneh, konyol dan menyebalkan. Tiga...