Bagian 26

24.6K 3.8K 754
                                        

"Dia ... orang asing yang berharga buat gue. Dia, lebih dari sekedar teman curhat, rekan belajar, ataupun sahabat. Cuma dia yang ada disaat gue lagi dalam keadaan rapuh. Bagi gue, dia jauh lebih berarti dari keluarga gue sendiri. Perasaan ini, sebenarnya udah ada sejak lama. Jauh, sebelum gue beranjak remaja. Dan sekarang, gue mau ngungkapin semuanya. Dia ... orang itu adalah-" Ucapan Dinda terhenti kala sebelah tangannya ditarik paksa oleh seseorang.

Diga. Lelaki itu menembus kerumunan banyak orang, lantas menarik kembarannya untuk menjauh dari keramaian.

"Lepas!" Dinda menyentak tangannya begitu saja. Gadis itu menatap kembarannya dengan murka. "Apa maksud lo?!"

"Norak," jawab Diga ketus.

"Norak kata lo?" Dinda membeo, lantas berdecih.

"Murahan."

Dinda membulatkan matanya tak santai. "Apa kata lo tadi? Murahan?" Diga mengangguk. Raut wajahnya tampak seperti menahan emosi. Dinda kembali bersuara, "Gue ... murahan?"

"Gue tau siapa orang yang lo maksud! Tapi bukan berarti lo bisa ngerendahin diri di depan banyak orang kayak tadi, Din! Malu! Inget, lo itu cewek!" Diga berteriak tepat di hadapan saudari kembarnya. Lelaki itu lantas mengusap wajahnya, kasar. "Kalau sampai Mama sama Papa tau kelakuan murahan lo tadi, gue yakin mereka bakal sama kecewanya kayak gue!"

"Stop ngatain gue cewek murahan!"

"Oh ya? Kalau gitu, apa yang lo lakuin barusan? Lo mau nembak Sean kan?!"

Dinda tertegun. Kedua tangannya terkepal. Dadanya terasa sesak, karena menahan emosi. Nyatanya apa yang dikatakan Diga itu memanglah benar. "Kalau gue murahan. Terus, Timmy itu apa?!" balasnya dengan teriakan pula.

"Jangan bawa-bawa nama Tiga!"

"Kenapa?" Dinda tersenyum miring, lantas kembali bersuara, "Nyatanya Timmy itu jalang kan?"

Orang-orang kini sibuk mengerubungi si kembar. Tentu saja mereka penasaran. Pasalnya, dua bersaudara itu sangat jarang berbicara dan dekat di sekolah.

"Yak. Suasana mulai panas guys!"

"Si bego malah nyenggol! Jadi ngeblur nih fotonya!"

"Astaga! Gue lagi bikin vlog, suara lo ganggu setan!"

"Eh-eh! Malah berantem! Liat noh si Diga sama Dinda mau baku hantam kayaknya."

Diga mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi. Dinda yang melihat hal itu, tentu saja terkejut. Apa saudara kembarnya ini akan menamparnya?

Diga sempat mengayunkan tangannya. Namun, pergerakannya terhenti begitu saja. Diga mengempas tangannya dengan kasar, lantas melangkah meninggalkan Dinda.

Namun, langkahnya terhenti karena Dinda menghadangnya. "Kenapa gak jadi?" tanya gadis itu. Dinda lantas menarik sebelah tangan Diga, "Tampar gue, Dig! Tampar!" Dinda berkali-kali mengayunkan tangan lelaki itu pada pipinya, namun Diga tak bereaksi sama sekali. "Lo itu saudara gue! Tapi kenapa lo selalu berpihak sama si kolot itu?!"

"Jaga mu-"

Ucapan Diga dipotong begitu saja oleh Dinda. "Sejak kecil, Dig! Sejak kecil gue gak pernah dapet kasih sayang yang utuh! Semenjak kejadian itu, Mama sama Papa malah ngasih perhatiannya buat dia! Padahal dia bukan siapa-siapa! Lo juga lebih sering ngabisin waktu sama dia! Lo gak pernah ada buat gue, Dig! Lo malah nganggep gue kayak orang asing! Cuma Sean ... cuma Sean yang sudi ngerangkul gue disaat gue rapuh!" Air mata Dinda menetes tanpa henti. Gadis itu menangis tanpa ia sadari.

Dinda kembali bersuara, "Sekarang, gue tanya. Apa pernah lo peduli sama gue? Apa pernah lo ngasih perhatian ke gue? Apa pernah lo dengerin sedikit aja rasa sakit gue? Enggak kan?! Semuanya lo berikan cuma buat si kolot itu!" Dinda benar-benar mengungkapkan segala kekesalannya. "Lo bahkan gak ngucapin selamat ulang tahun buat gue, Dig," lirih gadis itu. Nada suaranya terdengar berbisik. "Enam belas tahun. Dan semenjak kita beranjak remaja, lo malah semakin gak peduli sama gue. Jadi, apa salah, gue ngemis perhatian sama orang lain? Gue berubah jadi cewek murahan karena gue juga pengen ngerasain kasih sayang, Dig!"

Tiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang