Bagian 9

33K 4.4K 1.1K
                                        

Hari Minggu kali ini, Timmy tidak bisa keluar rumah untuk main bersama Sean dan Diga. Vano sedang cuti kerja, dan pria itu berada di rumah seharian full.

"Pi, main yuk," ajaknya.

Saat ini, mereka berdua sedang berada di depan televisi. Sementara Rea, sedang mengobrol dengan Anna di ruang depan.

"Mau main apa?"

"Hmm..." Gadis itu tampak berpikir. "Bola?"

"Main bola?" Vano tampak terkejut. Sedetik kemudian, ia kembali bersuara, "Ayuk!"

Kedua mata Timmy berbinar, tak lupa ia bersorak gembira. Gadis itu memasuki kamarnya guna bersiap-siap mengganti pakaian. Minggu ini pasti tak kalah mengasikkan dari minggu-minggu sebelumnya. Ya, semoga saja...

***

Timmy sudah mengenakan seragam futsal plus dengan sepatunya. Kali ini ia tidak memakai rambut palsu. Toh, dia akan bermain dengan Papinya sendiri. Namun semua, tidak berjalan sesuai ekspektasinya.

Vano kini duduk di sebelahnya. Pria itu menyodorkan sebuah benda padanya. Timmy menerimanya ogah-ogahan. Raut wajahnya tampak kesal.

"Katanya mau main bola! Kok Papi malah ngajak Tiga main PS sih?!" sungutnya.

"Loh? Papi bener kan? Kita emang main bola." Pria itu menggerakkan analog sticknya. Lantas memilih game bola versi terbaru.

Gadis itu mengembuskan napas pasrah. Ya, Timmy salah. Seharusnya dia mengatakan main futsal saja tadinya. Lihatlah, Papinya ini sungguh tidak peka!

"Mari bersenang-senang, permen karet kecilku!"

***

"Tiga, lomba yuk. Siapa yang kalah, harus traktir. Gimana?" ajak Diga. Ya, lelaki itu sudah tidak marah lagi padanya. Tidak ada alasannya untuk marah. Lagipula, Timmy sudah menceritakan semuanya. Termasuk perihal kecelakaan. Bukannya marah, Diga malah berbalik simpati padanya.

"Ayuk! Satu, pinjem tugas Kimia dong," pinta gadis itu pada Sean.

Sean ... wajahnya bahkan masih terlihat babak belur, pasca dihajar oleh Diga tempo hari. Diga jelas saja emosi. Mereka bertiga sudah biasa pulang bersama. Dan dengan mudahnya Sean malah membiarkan sepupu perempuannya pulang sendirian. Diga rasa, otak Sean sudah sedikit miring. Oleh sebab itu, dia menghajar lelaki itu berkali-kali.

Pada akhirnya, Diga menyesal. Sean tidak bersalah. Lelaki itu pulang bersama kembarannya, Dinda. Tidak ada yang perlu disalahkan dalam kejadian itu. Semuanya murni kesalahpahaman.

Sean memberikan tugas Kimianya secara cuma-cuma untuk kedua manusia itu. Dengan rakus, Diga menariknya.

"Heh! Tungguin dong. Curang ah!" Timmy berucap dengan nada yang tak santai. Dia belum siap. Dengan tergesa gadis itu menumpahkan seluruh bukunya dari dalam ransel, lantas membiarkannya berceceran di atas meja. Gadis itu memilah beberapa buku, guna mencari buku tulis Kimianya.

Dapat!

Namun, pulpennya?

Timmy mencuri pandang ke belakang. Sial! Diga sudah jauh di depannya. Lelaki itu menyalin tugas dengan cekatan. Dasar penyontek ulung!

Timmy merogoh lacinya. Ia baru ingat, pulpennya memang sering ia taruh di sana. Tepat saat tangannya meraba-raba, sebuah benda yang bukan pulpen, tersentuh olehnya.

Timmy menarik benda itu.

Sebuah gulungan kertas, berpita merah. Lagi!

Tidak usah terlalu banyak basa-basi!

Tiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang