The Doubtlful Night

45.3K 6.2K 499
                                    

Perasaan yang pertama muncul adalah shock. Lalu sedikiiiit...dikiiiiiiit aja...excitement. Balik kaget lagi. Bingung. Dan kemudian aku sadar.

Izar lagi berusaha 'menyelamatkan' aku seperti biasanya. Tapi dia gak sadar kalau ini salah banget.

"Zar, apa-apaan?" aku berkata, dengan suara bergetar. Tanganku juga. Hatiku apalagi.

"Kamu bilang barusan, kamu mau nikah, tapi gak ada calonnya. Aku mau sama kamu." ia menjawab lugas, semudah orang di jalan ditanya sekarang hari apa.

"Nah..." Akung menepukkan tangan, tampak gembira.

Aku merasa terjebak seketika. Apalagi saat Akung tiba-tiba menekan tombol panggil suster, dan mengatakan sesuatu yang sudah gak bisa kudengar lagi. Sang perawat terlihat mengangguk-angguk lalu keluar ruangan.

Aku masih memandang Izar yang sekarang lanjut ngobrol serius sama Eyang. Angguk-angguk. Geleng-geleng. Ini gak mungkin banget sih. Masa bisa? Sial amat kalau mesti nikah pakai baju berantakan, dalam jas pinjaman karena kedinginan, sendal jepit dan rambut acak-acakan? Apakah di kehidupan sebelumnya aku pernah jadi orang culas sampai mesti kena karma macam ini?

Seperti dalam mimpi, tiba-tiba semua orang yang tadinya di luar, sekarang masuk dalam pakaian steril. Semuanya tampak khawatir, dan menduga ada sesuatu terjadi sama Akung. Ha! Sesuatu akan terjadi pada aku, bukannya Akung!

"20 menit paling lama ya, Kek..." perawat berkata sebelum menutup pintu.

"Ada apa, Kung?" Indung mendekat.
"Permintaanku yang barusan, Mia sudah menyanggupinya." Akung berkata super ceria.
"Hah? Seriusan?" Indung terlihat kaget, paham banget dia kalau anaknya ini gak ada kans buat menikah dalam waktu singkat, "Sama siapa?"
Oh. Dan dia gak pernah suka sama mantan-mantan pacarku juga.

"Sama Izar, Ndung." Izar yang menjawab super kalem, "Kalau Indung dan Akung merestui, Izar mau menikah dengan Mia. Sekarang."

Kali ini, yang kaget semua orang. Reaksinya macam-macam. Indung berkata, "Haaaaaahhh?" super kencang. Mami, di luar dugaan, terdengar super happy, dan mengucap syukur berkali-kali, memeluk anak bungsunya sambil mengusap air mata. Kedua kakak kembar Izar mirip aku barusan, melotot memandangi kami. Hanya bapaknya Izar yang berdiri mematung, terlihat berpikir-pikir sambil menatap lantai.

"Emang bisa, sekarang banget gitu?" Indung bertanya bingung. Mendadak kehilangan memori padahal ia adalah pengacara perceraian yang sering banget terekspos gara-gara menangani masalah rumah tangga selebritis.

"Bisa. Ada enam syarat untuk nikah sah secara agama. Mempelai pria, mempelai wanita, wali, dua saksi laki-laki, mahar dan ijab kabul." Izar menjawab, "Kita punya semuanya sekarang, di sini."

"Nanti kita bisa daftar ke pengadilan agama dan setelahnya, minta dicatat di KUA supaya ada buku nikah. Ya. Ya." Indung mengangguk-angguk. Heh? Maksudnya? Dia approved gitu?
Indung lalu memegang kedua lenganku, "Mia. He's one of the best guy I've known. Izar anaknya baek banget. Oke. Indung setuju."

"What? Seriusan, Ndung?!"
Dari semua orang, aku berharap dialah, sosok ter-cynical dan paling punya akal sehat, yang bakalan membuat semua orang sadar kalau ini...ide gila.

"Bandingin sama cowok-cowok madesu kamu yang lain, he's obviously the best." Indung menjawab, membuatku sedikit mengingat deretan cowok yang pernah kukenalkan sama ibuku. Eugh. "Plus, you fell for him for years in highschool." Indung menambahkan, mengedipkan sebelah mata.
Aku harusnya gak curhat sama dia soal apapun. Damn.

"Maharnya apa, Nak?" tanya Mami, yang mendadak beres-beres kursi dan menyalakan lampu-lampu.

"Semua yang Izar punya sekarang, Mi." ia mengeluarkan dompet dan memberikan kartu ATM-nya pada Mami, yang lalu memberikannya padaku. Tangkas amat!

ElopementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang