Night Changes

74.6K 6.1K 506
                                    

Aku menggosok lenganku untuk kesekian kalinya, berusaha merasa sedikit lebih hangat. Meski sudah pakai dress formal berpotongan normal, aku masih kedinginan banget. Seperti sudah takdir, kalau aku lagi menghadiri acara kece apapun, selalu dapat duduk di bawah AC central.

"Kenapa lo, Rum?" Mitta berbisik padaku.
Kami duduk semeja. Dia dan Nino mewakili Coven, sementara aku jadi plus-one nya Izar. Hari ini ada acara dari SEA Emerging apalah itu, ada gala dinner dan pemberian penghargaan untuk orang-orang kreatif se-Asia Tenggara.

"Kedinginan gue..." dan kelaparan juga. Meskipun aku udah makan serius sebelum berangkat, mengingat terakhir kali di CREAGala sempat masuk angin.
Jeez. CREAGala rasanya kayak baru kemarin, padahal sudah berbulan-bulan lalu.

"Wine?" Nino menawarkan.
"Gak lah, No. Ngaco." Ren menarik gelas dari tangan Nino, sebelum meminum isinya santai. Ia datang kesini dengan undangan sebagai salah satu seniman yang dinominasikan, tapi trus barter meja sama orang supaya kami bisa duduk bareng.

"Izar mana sih, belum balik?" Mitta bertanya. Dia tadi habis bacain pemenang awards di panggung dan masih belum muncul lagi.

"Gatau. Duh, gue keluar dulu ya. Gue kedinginan, takut masuk angin..." aku berpamitan sambil berdiri dari kursiku. Dengan mantap melangkah menuju sign Exit yang menyala merah dalam gelap.

Saat berjalan, baru berasa sedikit oleng. Nah kan. Dengan segera aku mempercepat langkah, nyelip-nyelip sebisanya di antara meja-meja sambil mengikat rambut. Untung hari ini aku gak pake high heels, cuma flatshoes yang bikin aku bisa lari menuju kamar mandi.
Aku melewati pintu keluar, mencari logo kamar mandi, sprint...

Nyaris mencapai pintu, tapi aku udah gak tahan lagi.
Aku berhenti dan muntah di lantai lorong, mengeluarkan isi perut yang sebagian sudah tercerna.
Oh my God. It's gross!
Melihat muntahanku, aku muntah lagi.

Pintu di dinding mengayun terbuka, dan beberapa orang keluar. Sepertinya dari backstage, karena aku bisa mendengar keriuhan panggung.

"Mia! Kamu gak papa?" suara yang sangat familiar terdengar. Aku melirik dan melihat Izar berlari menghampiriku. Rupanya dia salah satu orang dari kerumunan yang barusan muncul.

Ia memberiku saputangannya yang segera kupakai lap mulut, membuka jasnya lalu membimbingku jalan ke salah satu kursi yang berjajar di depan toilet.

"Kenapa, Mas Faizar?" orang lain dari kerumunan yang sama ikut menghampiri. Dia pakai headset, kayaknya panitia.
Seorang cleaning service tau-tau muncul dari kamar mandi. Dia dengan sigap membersihkan muntahanku. Duh parah banget sih nih. Bikin scene ini mah namanya...

"Gak papa. Ini Mia, istriku." Izar menjawab, merangkul dan mengusap-usap lenganku.

"Oh. Lagi sakit?" lelaki itu mengulurkan botol air di tangannya. Masih tersegel. Izar membukanya untukku, dan aku minum.

"Enggak, dia ini lagi masa-masanya morning-afternoon-evening-night sickness." Izar menyelipkan rambutku ke belakang telinga.
Aku menepuk tangannya sebel. Ringan banget sih ngomongnya!

"Ohhh... Selamat yaaa. Kalau istri saya dulu suka bawa permen jahe gitu, Mbak. Nanti saya tanyain deh beli di mana, saya kabarin Mas Faizar. "

"Makasih, Mas." aku mendadak merasa tersentuh dengan kebaikan si mas-mas ini. Juga si cleaning service barusan, yang menghilang secepat dia muncul dan bersih-bersih.

"Saya masuk lagi Mas. Ada yang mau dibantu?"
"Gak papa, Mas Adrian. Thanks ya."

"Kamu mau makan?" ia bertanya padaku, mengulurkan tangan.
Aku mengangguk.

"Pengen makan apa?" Izar menawarkan sambil menggandengku menuju parkiran.
"Yakin mau dengar jawabannya?"

Ia menatapku sedetik lalu berubah pikiran seketika, "Gak makan Indomie, Mia. Kita udah deal banget soal mi instan."
Uh. He reads my mind like a wizard.

"Tapi anak kamu maunya Indomie Kari Ayam pakai telur sama irisan rawit, tambahan merica dan es teh manis di Warmindo terdekat..." jawabku sambil mengusap perut.

"Smoothie bowl aja. Kayaknya ada di Ranch Market deket sini deh..." Izar sok-sok'an gak denger, merangkulku melintasi parkiran yang sepi.

"Zar, IH! Smoothie bowl dong... Enggak banget. Bakso deh, gimana?" tawarku.

"Salad bar aja, salad bar, ada kok di sekitar sini! Atau sekalian deh, makan berat aja..."
Ia membukakan pintu untukku.

"Gak mau. Kamu gak lihat semua makanan aku barusan keluar di lantai? Perut aku kosong, Zar, kalau gak buru-buru makan nanti aku masuk angin, kamu lebih repot lho." ancamku.
Ini baru mau 6 minggu pertama, tapi masuk anginku udah versi ekstrim yang melibatkan berbotol-botol Kutus-kutus, ngidam makanan aneh-aneh dan pijatan gak berhenti sepanjang malam. Bikin kapok deh pokoknya.

"Nasi goreng boleh." Izar kasih ide sambil masuk mobil.
"Nasi goreng kambing. Atau sate kambing. Atau sate padang. Eh semuanya boleh gak?"

"Mia, istighfar, Mia." Izar tertawa kecil mendengar permintaanku.

"Seriusan."

"Oke, Sayang-sayangku. Kebon Sirih dulu ini berarti?"

Aku mengacungkan sebelah jempolku.
Ia mengacak rambutku sambil tersenyum.

"Terimakasih, Ayah Faizar yang baik hati."

"Kembali kasih, Ibu Rumia yang banyak maunya... Kamu sabar-sabar, kuat-kuat ya Nak, 8 bulan ke depan, bakalan dikasih makanan engga-engga sama Ibu..." Izar mengusap perutku lembut.

"Sini cium..." perintahku, dan ia mengecupku singkat.

"Kurang lama, Izar."

"Jangan sih, aku nyetir ini, Mia."

"Ah kamu gak seru."

"Heh."

We're only getting older, baby.
And I've been thinking about it lately.
Does it ever drive you crazy, just how fast the night changes?
Everything that you've ever dreamt of, dissapearing when you wake up.
But there's nothing to be afraid of, even when the night changes...
It will never change me and you.

TAMAT

ElopementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang