Fiasco at Home

33.8K 4.9K 392
                                    

Akhir minggu, aku pulang ke Bandung. And, well. Time flies when you're surrounded by people you love. And when you have missions.

Kali ini kami di Bandung buat wedding planning. Aku meninggalkan diri dan mendedikasikan waktuku untuk ngurusin dokumen, jalan-jalan lihat tempat, riset-riset ini itu ditempelin Akung yang overexcited dan ikut heboh...
Terlalu heboh malah, sampe kami sempat mesti mampir ke rumah sakit gegara aki gaul ini tensinya mendadak tinggi saking semangatnya ikut ngatur-ngatur!
Besokannya dia harus di rumah tapi videocall mulu.

Bikin aku akhirnya memutuskan males ribet, sampai mikir udahlah, langsung ke KUA aja trus lanjut makan bareng keluarga dan teman dekat.
Jadi bukan resepsi tapi syukuran makan-makan aja. Yaaa, sambil pake baju manten, bolehlah ya.
Sebagai suami baik hati, Izar iya-iya aja.

Di hari Rabu, aku udah kebayang mau ngapain.

***

"It's a brilliant idea!"
Di depanku adalah Laras, yang mengangguk-angguk semangat pas aku bilang pengen book resto Stanna untuk urusan syukuran nikahan Sabtu besok.

"Banyak opsi lain juga, kok, Mia. Kamu bisa book villa dan bikin BBQ Party di depannya, bisa buat sampai 30 orang. Bisa juga set-up meja-meja di depan kolam, up to 100 people. Atau di private hall juga bisa... Ruangannya lumayan besar juga kok, 50 orang masuk..." ia mengusulkan.

Tadinya aku malah mikir mau ngajakin orang makan di Sederhana aja sekalian. Traktiran massal gitu, pasti enak, pasti kenyang. Cuma Akung langsung melotot gak sepakat dengan ide barbarku. Selain karena dia udah gabisa makan gajebo, dia juga pengen dress-up katanya.

"Kabarin aku paling telat Kamis sore, deh. Gak usah DP-DP segala. I'll see what kind of discounts I could give you." tambahnya.

"Thankyou." aku berterimakasih dengan sungguh-sungguh.

"I did this kind of wedding as well." ia berkata, "Tadinya mau serius bikin resepsi. Tapi gak jadi. Aku tim kawinan praktis-praktis aja lah. Pokoknya sah."

Hmm.
Aku lebih praktis lagi sebetulnya. Nikah malem-malem, by request, di ICU pula...kurang dadakan apa, coba!
Nanggung ya kan.

Jalan keliling Stanna sepanjang pagi ditemenin Laras, aku jadi kangen sama Izar. Mungkin karena Stanna is a memorable place. Mungkin karena di Bandung, aku gak bisa tidur bareng Izar karena semua kasur di rumah Mami ukurannya single.

It amazes me how my old home feels different after these weeks with Izar. I just realized that home is a feeling.

Selesai dari Stanna, aku homesick.

***

Empat jam kemudian, aku sudah sampai di Jakarta. Gak pake bawa apa-apaan. Beneran cuma bawa badan dan tas doang, pake travel, turun di Senayan City.

Teleponku bunyi saat nunggu pesanan take-out Pancious. It's Mitta. Dia nanya ini-itu tentang launching Sigma, terdengar sangat excited dan bikin aku pengen meluncur ke Coven...

But no. I'm going home. To Izar's arms.
Aw. Romantis amat. Gila ya, aku beneran head-over-heels banget sama dia. Sampai gak minat ngantor!

Lebih ekstrim dan bucin... Aku kepikiran untuk bikin semacam candle light dinner di rumah, cari film romantis, buat dessert manis, dan boboknya pake piyama baru dari satin yang cantik, lembut dan enak dipeluk!

Aku lanjut ke rumah Fatmawati. Beres-beres, masukin makanan ke kulkas, mandi, dan...mendadak ngantuk melihat kasur kami yang besar dan empuk.
Hmmm. Tidur siang. Kapan lagi.

***

Aku terbangun dalam keadaan kamar gelap. Di luar, matahari sudah terbenam. Aku bangun dengan segar, ngecek handphone yang ku-charge di pojokan kamar. Whoa. Izar missed-call berkali-kali sepanjang sore. Tindakanku barusan beneran impulsif, aku sampai belum ngabarin siapa-siapa.

Aku sudah mau nelpon Indung saat tiba-tiba terdengar suara dari luar kamar. Eh? Kuintip ke luar jendela, mobil Izar sudah masuk.
Well, it has to be a pleasant surprise!

Sambil berjingkat-jingkat, aku memasukkan ponsel ke saku sweater yang kupakai dan membuka pintu pelan-pelan.
Izar masih pakai baju kerja, lagi di dapur bikin minum. Sebelah tangan memegang telpon, kelihatan super serius.

"...gak diangkat, dari tadi, Ndung. Hmm. Ya, oke. Kabarin ya. Gak papa sih, aku khawatir aja..."
Aaaaw. He worries about me!
50% guilty, 50% ge-er.

Eh. Dia bikin beberapa gelas minuman. Ada tamu kayaknya. Izar mengambil nampan dan menyimpan empat gelas di atasnya. Beneran ada tamu!

Ia mengakhiri panggilan telpon dengan ibuku, menyimpan ponsel jadulnya di saku, dan berjalan ke ruang tamu.
Beberapa saat kemudian, aku keluar diam-diam dan mencoba ngintip. Rumah Izar konsepnya open space, tapi banyak sekat-sekat buat sembunyi dan jadi pembatas ruangan. Lucky me.

Aku mengintip dari balik rak buku.
Ada suara-suara lebih jelas di ruang tamu yang berisi beberapa sofa dan dilengkapi kipas angin langit-langit. Suaranya agak keras, memaksa semua orang membesarkan volume saat bicara.
Dua orang gak kukenal, satu lelaki agak tua dan satu perempuan paruh baya, cantik berjilbab. Keduanya jelas kelihatan seperti kalangan atas, dari penampilan mereka yang elegan. Satu lagi membelakangiku, perempuan juga, berjilbab warna pink.

Izar menyajikan minum dengan kesopanan dan senyum ramahnya yang masih bikin hatiku berdebar.
Duh. Suamiku...

"Jadi, Nak Izar ini sendirian di Jakarta?" tanya si Bapak-Bapak. Ada sesuatu yang bikin aku ngerasa dia terlihat familiar. Tapi lupa, apa dan siapa.

"Oh. Enggak. Istri saya lagi di Bandung. Kemarin dia sakit, trus cuti, jadi istirahat dulu di rumah orangtua..." ia menjawab.

"Sebelumnya, saya mau tanya dulu sama Nak Faizar, agak pribadi sih ini ya... Tapi Nak Faizar, kelihatannya seperti orang yang menjalankan sunnah Rasul, betul?"

He? Apaan nih. Minta sumbangan buat pesantren? Mau bikin mesjid?

"InsyaAllah, Pak." Izar menjawab. Sekilas, dia terlihat sama bingungnya denganku.

"Tentu Nak Faizar tahu sunnah-sunnah yang sudah lazim dilakukan. Dan hari ini, saya ke sini atas permintaan keponakan saya, sebagai wakil keluarga yang tinggal di Jakarta..."

"Mmm-hmm..." Izar mengangguk-angguk, berusaha mengikuti percakapan.

Kali ini si ibu berjilbab mengeluarkan lembaran kertas, menyerahkannya pada Izar. Ia membaca, dan mengerutkan kening.

"Maksudnya gimana?" ia bertanya, tampak shock dan melirik si perempuan berjilbab pink.

"Iya, Sarah menawarkan diri untuk menikah dengan Mas Faizar..." jawabnya, membuat darahku tersirap seketika.

WTF?? Aku bersandar ke rak buku, karena tiba-tiba badanku oleng dadakan.

"Mas, ada banyak perempuan yang menawarkan diri untuk dinikahi oleh lelaki saleh, termasuk Khadijah pada Rasul. Aku insyaAllah rela jadi istri Mas Faizar, meski bukan yang pertama. Aku menikah buat ibadah, dan Mas Faizar bisa jadi imam yang baik untukku... Keluargaku juga mendukung kok, makanya mamaku dan pamanku di sini. Kalau Mas Faizar masih belum meresmikan nikah sama Mbaknya, kita aja yang bikin buku nikah di KUA." di belakangku, perempuan berjilbab pink--Sarah--berkata.

Izar sama bengongnya denganku. Bedanya, aku sambil lemes.

"Iya, Nak Faizar. Nabi saja istrinya empat. Hal yang dilakukan Nabi kan, insyaAllah sunnah ya. Dan kami juga dapat kabar kalau ayahnya Mas juga melakukan hal yang sama. Jadi..."

Aku gak bisa dengar lebih lanjut, terduduk di lantai dengan perasaan seperti diperas habis.
Ya ampun. I need to get out of here. Tapi lewat mana? Sambil berjalan sepelan mungkin, aku menuju dapur, ada kunci pintu belakang di sana.

Aku menemukan kunci di dekat pot bunga dan membuka pintu belakang. Di luar, aku berlari menuju jalan raya. Aku pakai sweater tapi di bawahnya cuma kaos tidur, jadi meski panas, gak berani buka. Ada ATM di minimarket pertama yang kutemukan, untungnya aku bawa hp jadi bisa ambil pakai fitur cardless.

Beli minum dan duduk.
Mikir.
Where would I go?

ElopementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang