The Best and a Better One

33.5K 5.1K 755
                                    

Sarah gak terlihat seperti biasanya. Dia datang tanpa riasan, memakai kerudung panjang abu-abu gelap yang menutup nyaris seluruh badan dan rok hitam panjang. Mirip orang jalan-jalan pakai mukena.
Dia sedang duduk di depan meja, saat aku membuka pintu.

"Mia..." ia menyapaku.
"Sarah, kamu ngapain di sini?" aku gak bisa menyembunyikan kekagetanku. Gimanapun, dia ujug-ujug muncul di kantor, bukanlah sesuatu yang terduga aja gitu.

Wajahnya tampak pucat, dengan mata sembab dan merah.
"Aku datang ke sini, karena kemarin Mas Faizar marah banget. Dan aku...disuruh minta maaf langsung ke kamu, Mia. Kalau enggak, dia mau berhenti kerja bareng Bapak."

"Eh?"
Izar? Marah? Nyuruh minta maaf?
That's new.

"Bapakku juga marah sama aku. Dia bilang kalau sampai Mas Faizar gak jadi partnernya gara-gara aku...Kamal Kuldesak dia take-over."

Duh.
Dasar aku, aku malah ikut sedih dan kasihan jadinya sama si bocah bergigi veneer yang tersedu-sedu di depanku ini.
Aku menarik kursi dan duduk.

***

People think, falling for someone is easy. He would eventually love you back. Happily ever after, Disney Princess mode: ON.

Flash news. Sometimes, being in love, hurts. Sometimes, you struggle so hard to not be in love with this special person.
And you may still fail at that.
And you kept falling.
And he kept moving on with his life.

It happened with me, before.
Now it happens to Sarah.

"Aku tuh gak pernah kayak gini sebelumnya. Mas Faizar baik, shalatnya gak pernah tinggal, hafalannya banyak, kerjaannya gak aneh-aneh, pintar, sopan, gak pernah curi-curi lihat perempuan..." ia mulai bercerita, "Teman-temanku banyak yang lebih ganteng, lebih mapan, tapi gak ada yang seperti Mas Faizar, Mia. Aku tuh gak bisa berhenti mikirin dia, sejak pertama ketemu dan ngobrol. Aku langsung terpikir, dia akan bisa jadi imamku, dunia akhirat. Tapi lalu dia pas kembali ke Surabaya, sudah pakai cincin... Mas Lando bilang, dia menikah dadakan di Bandung. Aku kaget banget. Aku terlambat ajakin taaruf. Aku patah hati."

Sarah menangis tersedu-sedu. Tanpa bisa kutahan, aku menepuk-nepuk pundaknya.

"Terakhir ke Surabaya, Bapak cerita ketemu kamu. Dia bilang, kamu impressive, kelihatan pintar, menarik. Bapak suruh aku move-on. Tapi pas aku ketemu langsung..." ia memandangku, "Kupikir aku lebih baik dari kamu."

Damn. That's savage.
But. I used to think she's better than me as well.
Okelah.

"Aku gak bisa berhenti mikirin Mas Faizar sejak itu. Akhirnya kata guru ngajiku, aku mesti coba ambil kesempatan. There's nothing wrong by being a second wife. Apalagi aku kemudian tahu kalau ayahnya Mas Faizar juga berpoligami. He'll get to know which one is better. Hopefully, it'd be me."

Mulai ngeselin juga ini curhat yak.

"Bapak udah gak mau aku ngurusin Mas Faizar, makanya aku ke Jakarta dan minta Bude dan Pakdeku untuk melamar Mas Faizar. Tapi, dia menolak mentah-mentah. Sekarang Bapak juga marah sama aku karena Mas Faizar mau keluar proyek. Sementara Kamal Kuldesak masih ada jadwal bangun di lima kota lain..."

"Sarah. Kamu pernah punya pacar gak sih?" aku gak tahan untuk nanya ini. Gemes. Dia nih ya, cantik, tinggi langsing, menarik, dengan followers super banyak, dan jinjingannya Givenchy. Tapi bucin sama laki orang. Wait. Laki gue.

"Enggak lah, Mia. Aku suka cowok juga baru ini, suka banget, cinta, mungkin, aku sampai nekat karena yakin banget dia bisa jadi imamku dunia akhirat..."

Astaganaga.
"Stop there. Sarah, aku gak bilang gini karena Izar, erm, suamiku. Tapi, seriously, you gotta stop this madness about polyamorous life like it's romantic and beautiful..."

ElopementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang