Heaven & Hell & Home

34.5K 4.9K 362
                                    

Beberapa minggu lalu, aku dan Izar sama-sama berkendara ke Bandung dengan kecepatan melewati normal. Saat ini juga.

Beberapa minggu lalu, aku dan Izar nyaris gak bicara sepanjang perjalanan saking panik dan khawatirnya karena berita dari kedua ibu kami soal Akung. Saat ini juga.

Beberapa minggu lalu, aku dan Izar adalah dua orang yang secara kasat mata, dekat--tetangga yang berbagi halaman dan orang-orang tercinta, tapi sebetulnya gak kenal satu sama lain.
...saat ini juga.

Izar mendesis kesal, karena malam Minggu membuat antrean panjang menjelang pintu tol Pasteur. Kami sukses melewati titik-titik macet Bekasi tapi bagian Pasteur ini memang...duh, gak bisa dihindari lagi deh.
Kami stuck untuk paling gak, setengah jam lah, kalau lihat gerbang masih jauh di ujung sana. Mungkin lebih. Pesona kota weekend masih jadi magnet orang Jakarta ngabisin libur mereka di Bandung.

Izar melirikku, yang lagi mengamatinya.

"Everything is gonna be okay, right?" tanyaku pelan padanya, untuk pertama kali sejak Gancit, bisa bersuara. Setelah telepon yang nyuruh kami pulang segera, nyaris kayak secepat kilat aku pamitan sama Mitta, ngambil ransel dan digeret Izar ke basement, masuk mobil dan meluncur ke Bandung.

"I hope so, Mia..." Izar menjawab, untuk pertama kalinya, sejak beberapa hari terakhir, terdengar lembut. Sebelah tangannya menyentuh pipiku dan aku gak kuat lagi.

Pertahananku seminggu ini akhirnya runtuh seketika. Aku capek, stressed-out gara-gara kerjaan dan kurang tidur, sedih dicuekin, kecewa, kesal, marah sama Izar karena dia nyebelin banget...lalu sekarang khawatir dan takut setengah mati mikirin kondisi Akung, the first and the only man in my life who loves me unconditionally, kembali masuk UGD. I can't take it anymore. Aku hampir selalu menahan air mataku di depan Izar.
Nangis gara-gara hal lain, aku masih jago jaim. Bahkan saat terakhir aku mesti dirawat di RS pun, kami nangis bareng...aku tetap cool.
Tapi saat ini...aku gak tahan lagi.
I cried like a baby, loudly, uncontrollably, desperately.

Izar memelukku erat-erat.
"Mia? Oh, ya ampun Mia... Ssshhh... Sudah, sudah... Berdoa, Mia, semoga Allah segera angkat semua sakitnya Akung..."

Aku gak peduli, terus tersedu-sedu sampai kami lolos dari macet, dengan Izar memelukku sepanjang jalan.

***

Kami tiba di depan ICCU, dan semua orang ada di sana. Indung, Mami, Idham, Ilham... Kami berpelukan dan aku lemas banget rasanya.

"Tadi Akung sempat kena serangan jantung. Untungnya lagi bareng Indung dan Mami, belanja di Setiabudhi Supermarket. Pakai ambulans ke sini. Sampai sekarang kita masih belum bisa masuk sih..." Ilham menjelaskan padaku dan Izar.

"Dokternya masih di dalam. Kita cuma bisa nunggu aja sekarang." sambung Indung.

"Udah pada makan?" Mami bertanya.

Aku dan Izar kompak menggeleng. Belum dan gak pengen. Nanti aja. Kalau semua udah oke dan Akung gak papa dan kami bisa pulang dengan tenang.

"Keluarga Bapak Widja?" tiba-tiba seorang dokter muncul dari balik pintu, membuat kami semua setengah berlari menyongsongnya.

"Dua orang saja." ia memberi isyarat untuk ikut masuk. Indung mengikuti, disusul Ilham.
Izar protes, tapi langsung dijawab, "Kamu disini, temani Mia, Mami dan Idham. Biar aku sama Indung."

Dan akhirnya kami berempat duduk makin nervous di kursi tunggu. 10 menit terlama, jarang banget kami berempat gak bicara kalau udah kumpul gini. Tapi semua sibuk dengan pikiran dan doa masing-masing, kayaknya.

Indung dan Ilham keluar dengan wajah tak berekspresi.
"Akung dipindah ke ruang rawat..." Ilham mengumumkan, "Nanti dikabarin kalau sudah pindahan."

Alhamdulillah...!
Aku nyaris bersorak, tapi semua orang, kok malah kelihatan gak excited.

ElopementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang