The Guy, The Girls In Love With

45.1K 6.2K 410
                                    

Perks of working in an advertising agency: super flexible schedule. Karena hampir semua project yang kutangani sudah tinggal nunggu hasil evaluasi dari client, hari ini aku gak mesti buru-buru ngantor di pagi hari.
Bisa ngantor jam 10an lah. Sebetulnya lebih siang pun boleh, tapi aku masih pengen review bahan pitching besok.

"Kalau rapatku selesai cepet, aku balik dulu dan antar kamu ngantor. Kalau enggak, kamu pakai Gocar ya."

Aku duduk di meja makan sambil lihat Izar sarapan.
Di luar dugaan, menu makan paginya kayak mau ikutan fashion show Victoria's Secret: oat, buah dan infused water.
Sudahlah aku barusan tidur jam setengah 3 pagi, kebangun jam 5 kurang karena Izar bangun subuh, dan susah tidur lagi pula. Melihat jenis makanan sehat-sehat gini, aku langsung niat pesan nasi padang sama OB begitu sampe kantor. Aku sudah biasa mengkompensasi kurang tidur pakai makanan, sejak kerja di agency.

"Tidur lagi aja dulu sebentar, semalam kamu tidurnya resah banget..." ia menambahkan sambil menyentuh wajahku. Aku nyaris kejungkir dari kursi. His touch is electric.

Semalam, well, dini hari tadi, tepatnya, akhirnya aku berbagi kasur sama dia. Selama di Bandung, dia tidur di kamarnya Akung terus. And last night was...weird as fuck.

Jam 2 pagi kami naik tempat tidur bareng. Dia gak ngapa-ngapain tentu saja, beneran cuma menepuk kepalaku, menggumamkan selamat malam, berdoa sendiri, dan tidur memeluk gulingnya.
Sementara itu, aku susah banget memejamkan mata. Aku bergeser sana-sini cari tempat nyaman, kedinginan lalu kegerahan, bolak-balik, dan tiap kali Izar bergeser, mataku langsung kebuka. Alarm nyala jam 4.30, dimana saat itu aku baru beneran tidur beberapa menit, tapi Izar sudah bangkit. Mandi, solat di sudut kamar, dan...mengaji pelan. Saat itulah aku ketiduran lagi. Lalu aku bangun. Bangunnya pas banget saat Izar buka lemari dan berpakaian.
Langsung sadar, tentu saja, meski pura-pura masih merem di balik bantal. Curi-curi pandang dengan jantung berdebar dan pikiran enggak-enggak.

Yes. He's hot now. Dulu dia kurus dan tinggi, sekarang dia masih tinggi dan masuk kategori langsing, tapi meski sekilas, aku bisa melihat lengannya yang berotot dan perut ratanya yang toned banget.

Saat ia keluar kamar, aku beneran udah gak akan bisa tidur lagi, jadi aku ngikutin Izar ke dapur. Diajakin makan deh.

"Atau kamu gak usah ngantor dulu? Kamu kelihatan kurang tidur banget, lho." tambah Izar, memandangku lekat-lekat.
Kurang tidur is my routine. Yang bahaya itu kalau kurang makan. Aku bisa berubah jadi monster.

"Sendirinya juga tidurnya sebentar." balasku, defensif, lalu coba minum infused water strawberry dan...timun? Like, really? Tapi rasanya lumayan sih sebetulnya.

"Nanti malam aku berencana tidur cepat." ia mengangkat bahu, "Kamu nanti pulang jam berapa? Aku jemput."

Wah. Itu adalah pertanyaan yang gak bisa kutentukan jawabannya. Memperkirakan kapan aku pulang dari kantor tuh lebih rumit dari prakiraan cuaca di tengah pemanasan global. Banyak faktor berpengaruh, tapi yang utama adalah faktor keberuntungan.
"Masih belum tahu, tapi nanti aku kabarin ya."

"Oke. Telepon ya. Aku set semua chatting apps di iPhone, tapi cuma dibuka di kantor."
Makhluk jarang ini. Konon dia super high-tech sampai ada rumor dia kalau bikin 3D model pakai hologram. Kayaknya hoax. Soalnya ponsel pribadinya aja masih jadul banget, cuma bisa SMS dan telpon.

Ia merapikan bekas makannya, berjalan ke dapur dan mencuci piring. Seriously, aku gak pernah kepikir, tapi cowok berkemeja rapi siap ngantor yang nyuci piring sendiri ternyata bisa kelihatan seksi. Aku tahu selama ini anak-anaknya Mami memang jauh lebih bisa diandalkan soal ngurusin rumah dibanding aku, tapi tetap saja... This is new.

ElopementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang