Family Legacy

40.1K 4.9K 253
                                    

"Sorry I cried all over you."
Izar berkata segera setelah sukses membangunkan aku. Sudah subuh rupanya, karena suamiku ini telah berpeci dan bersarung rapi.

Sesuai pengakuan Izar barusan, segera kusadari kalau bagian belakang kaos tidurku basah. Juga sebagian rambutku. Lalu aku sadar lagi dimana.
Aku bangkit dengan gak percaya. We're sleeping together on my ultrasmall supermini bed!
Beberapa kali aku kebangun karena takut gak sengaja lasak, tapi ternyata aman.

"Ini iler atau air mata nih?" tanyaku, godain Izar yamg wajahnya masih sendu dengan mata bengkak.

"Dua-duanya plus ingus mungkin..." ia menjawab, memberiku senyum tipis yang bikin lega.

***

Kami ambil cuti beberapa hari setelahnya, bantuin Indung beres-beres. Akung sejak masuk rumah sakit pertama kali itu, rupanya sudah menerapkan prinsip Konmari dan mengeluarkan sebagian besar barang pribadinya dari rumah. Sisanya hanya beberapa pakaian yang dibagi rata sama Izar-Ilham-Idham, serta meja gambar dan alat-alat yang tentu diklaim Izar. Koleksi-koleksi Akung, kami sepakati untuk tetap disimpan di rumah dan dirawat seperti biasa, termasuk tanaman-tanaman di taman, album foto, dan buku-buku.

Handphone Akung masih kami nyalakan dan jadi sumber berita untuk teman-temannya yang pada shock karena kepergian Akung yang tiba-tiba, dan pemakamannya yang berlangsung cepat. Aku mengkopi semua isi Gallery ke dalam laptop dan berniat mencetak foto-foto serta ngedit video-video amatir yang sering dikirimnya untukku secara random dan masih bikin aku ketawa.

Izar is doing better. Dia masih sedih tapi sudah mulai bersikap sedikit normal. Walaupun belakangan Izar menye-menye banget padaku sih. Ini kayaknya manfaatin situasi aja, biar bisa disuapin dan dikelonin tiap hari.

"Mia, Indung kita bawa Jakarta aja gimana?" Izar mengusulkan saat kami lagi duduk sore-sore di taman.

"Hah? Mana mau dia tinggal bareng kita!" jawabku otomatis. Aku sedang membaca aturan pakai pupuk cair untuk tanaman-tanamannya Akung.

"Tanya dulu lah. Aku khawatir kalau dia di sini sendirian. Mami dekat sih, tapi di rumah kan gak ada orang." tambah Izar lagi.

"Kamu tanya sendiri deh..." aku melirik Indung yang lagi main handphone di depan TV.

"Kamu anaknya."
"Ya kamu mantu kesayangannya."
"Karena anaknya cuma satu: kamu."
"Kamu yang punya ide."

Izar mengernyitkan hidung dan kemudian bangkit berdiri, berjalan ke ruang tengah.

Indung itu, super independen. Obviously. She's strong and stubborn. Aku sudah kebayang jawabannya kalau aku yang ngajakin dia tinggal bareng kami di Jakarta...dan kalau Izar yang ajak. Pasti cara jawabnya beda, tapi jawabannya sama: NO.

Tapi, beberapa menit setelah Izar masuk untuk nanya, dia kok belum balik-balik lagi ke taman?
Aku ngintip ke dalam, dan keduanya terlihat ngobrol serius. Izar ngangguk-ngangguk. Lalu gantian Indung.
Heh?? Ada apa iniiii...?

Apa Indung mau ikutan kami ke Jakarta?
Pas lagi kepo-keponya ngintip, keduanya mendadak melihatku. Mirip adegan komedi situasi.

"Mia. Sini bentar." Indung melambaikan tangan, bikin aku otomatis menghampiri. As my mother she got that kind of power over me. Meski aku lagi sebel atau marah sama dia, kalau dipanggil, aku datang. Kayak hipnotis bawah sadar. Mungkin itu efek ASI berpuluh tahun lalu.

"Kamu mau Indung pindah bareng kalian?" ia bertanya, sebelah alisnya terangkat.
"Iya, soalnya daripada Indung tinggal sendiri..." jawabku.

"Kamu udah tau jawabannya bahkan sebelum kamu tanya kan?"
Ya, udah sih.
Aku mengangguk.

ElopementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang