Calming The Gut Instincts

30.9K 5K 216
                                    

Jam 21 lebih, hampir dua jam sejak aku meninggalkan rumah. Aku dilema, mending pulang ke rumah atau cabs ke tempat lain.
Masalahnya, aku beneran gak punya siapa-siapa di sini. Gak berani bilang sama Mitta dan Nino, yang kutahu pasti lagi lemburan di kantor. Apalagi sama keluarga Bandung.
Tapi kalau aku balik ke rumah...
Aku gak bisa bayangin apa jawabannya Izar terhadap lamarannya Sarah barusan.

Yang kepikiran adalah, Sarah is way...waaaaaay...better than me. Dunia akhirat malah. She's young, wealthy, from good family, smart, pretty, and obviously more religious. Semuanya tuh. Empat ceklis cari istri secara Islami, dia punya semua poinnya: harta, nasab, kecantikan dan ilmu agama.
Plus, sebetulnya di mata negara dan hukum, Izar is a single man. He could easily get rid of and replace me.

Telponku bunyi dari tadi, gak berhenti-berhenti, aku biarin aja. Izar. Indung. Mami. Semua ganti-gantian telpon aku, aku cuma memandangi layarnya tanpa ingin menjawab.

Saat menghabiskan popmie, ada panggilan baru lagi, tapi namanya berubah. It's Ren. It's work.

"Yo." aku menjawab sok cool.
"Rum! Maaf saya telpon malam-malam, tapi saya dapat kerjaan dampingin editor untuk TVC Sigma, nih..."

Oh, good. Something better to occupy my mind. Dengan segera pikiranku beralih pada kerjaan.

***

Phone call then turn into videocall, and all of the sudden, it's almost midnight.
"Semoga Faizar gak ngambek sama saya ya, dipinjem berjam-jam..." Ren berkata dari layarku.
Akhirnya selesai. Tinggal render. It would take whole night, though.

"He...wouldn't mind, I guess. Gue juga gak lagi sama dia sih."

"Really?" ia mengerutkan kening.

"Gue di...minimarket 24 jam dekat rumah." jawabku, memperlihatkan suasana sekitar.

"Why?"

"Urm...wifi and hot meals?" jawabku asal.
"Rum. Come on."

Dan. Tanpa bisa kutahan, aku cerita soal kejadian barusan. Sama Ren. It's weird. He's not even my bestfriend.

"Pulang, Rum. Saya jadi Izar, udah stress banget pasti, cariin kamu. Ini egois dan gak berguna."

"Gue gak berani. Lo bayangin gue pulang trus dia bilang, 'Oke, Mia. We're done here. Aku mau ngejar akhirat aja dengan istri soleha yang bisa jadi bidadari surga, ukhti idaman lelaki muslim se-Indonesia.' gimana, coba?"

"That's stupid. Kreatif, sih, tapi absurd, Rum. Sana pulang. Atau minta jemput, pakai ojek, anything. I would love to pick you up and drive you home. But we both know it's a bad, bad idea."

True.

"Ren, lo jadi Izar... Bayangin lo orang yang beriman nih ya. Apa-apa yang lo lakuin itu ya buat ngejar surga gitu ya... Lo kawin ama gue, yang ngaji aja gak bisa, solat aja cuma apal Al-Fatihah ama kulhu-kulhuan doang... Susah masuk surga kalau mesti membimbing gue dong." aku berapi-api mengajukan argumenku, "Trus datang ini cewek baru. Masih kinyis-kinyis, cakep, tajir, video ngajinya disubscribe ribuan orang di Youtube... Milih mana, coba?"

"Saya bukan Faizar. And you better ask him directly. Go home. Talk it out. Gak guna kamu ngobrol sama saya." ia menjawab langsung.

"Fine."
Di sini banyak nyamuk, mulai ngantuk, dan penasaran jawaban tadi pertanyaan barusan.

***

Di rumah Izar, mobilnya gak ada. Rumah gelap semua kecuali lampu depan.
Dan. Aku. Kekunci. Di. Luar. Bego sih, keluar boro-boro bawa kunci, pake beha aja enggak.

Aku duduk di teras. Berharap ini cuma sekedar mimpi, dan aku bangun lalu semuanya kembali normal.
Telpon bunyi lagi. It's him.

"MIA!" Izar is literally yelling at me, "Dimana?"
"Aku di rumah, kekunci di luar." jawabku sebelum menutup panggilan.

Dengar suaranya Izar barusan, aku... Ngerasa guilty, tapi sedih, masih marah, bingung, takut...semuanya campur aduk, tumpang tindih. Bikin sesak, dan akhirnya semua tumpah. Aku menangis tersedu-sedu di teras rumah.

***

Saat Izar keluar dari mobil, aku sudah siap buat diomelin abis-abisan, lihat dia turun dengan wajah dingin, terlihat capek, masih belum ganti baju dari tadi sore...
Dan tangisku makin menjadi meski aku berusaha berhenti.
I bet my neighbors will think our house is haunted by this wailing ghost.

"Mia..." ia duduk di sampingku, menghela nafas panjang-panjang. Dia kayaknya marah sih, nih. Tapi hebat amat masih bisa sabar. Aku jadi dia udah ngomel dari kapan-kapan.
"Masuk yuk." ajaknya. Suaranya sih lembut, tapi ada nada kekesalan di sana.

Aku menggeleng.
Ia menggeser tubuhnya merapat padaku, "Kamu tahu gak seberapa khawatirnya aku dan Indung seharian ini? Pamitan tadi pagi, cuma mau ke Stanna, pakai angkutan umum. Tiba-tiba kamu pulang ke Jakarta. Tiba-tiba kamu pergi lagi entah ke mana, cuma ada tas yang isinya lengkap. Gak terima telpon, gak balas SMS, di-chat gak ada tanggapan..."

Aku diam. When he mentions it one by one, things I did...sound really awful.

"Aku panik, Mia, sampai sempat hubungi Syala, ngecek. Telpon Laras, dia bilang ketemu kamunya pagi-pagi. Aku datengin travel sekitar sini, ngecek nama kamu, dan gak ada... Aku lagi mau jalan balik ke Bandung, udah di Cawang pas akhirnya kamu angkat telpon."

Uh. I know I'm being selfish. Bahkan air mataku saja tahu aku bersalah, dari tadi mengalir gak berhenti.

"Jangan gini, dong, Mia. Aku clueless, gak ngerti kenapa, mesti gimana, khawatir banget. Alhamdulillah, kamu pulang selamat." lanjut Izar. "Kamu dari mana aja?"

"Aku pulang ke Jakarta, pakai travel turun di Sency, trus sampai rumah aku ketiduran. Hp-ku di-charge jauh. Aku bangun...pas ada Sarah sama keluarganya datang..." jawabku jujur, terisak-isak.

Izar memejamkan mata, mengusap wajahnya sebelum menarikku ke pelukannya.

"Aku ke Indomaret depan situ aja sebetulnya, Zar... Aku gak tau mau kemana, ngapain, cerita sama siapa..." tambahku.

"You should've just answer the phone." ia menjawab.

"Kamu jawab apa sama Sarah?" tanyaku. Bodo amat dibilang cemburuan. Kenyataannya, itu bocah emang ngincer Izar kok.

"Seriously, Mia. Kamu masih tanya?" ia mengerutkan kening.

"Masih. Karena aku gak pernah tahu kalau tiba-tiba kamu berubah pikiran."

"Aku bertahun-tahun jadi saksi sekaligus korban poligaminya Bapak, Mia. Aku pengen banget bilang aku benci dan anti sama poligami, tapi gak bisa dan gak boleh, karena memang ada di Al-Quran." Izar menjelaskan, "Dibolehkan, ya, tapi itu pilihan. Dan aku sudah niat, gak bakalan bikin kamu menderita kaya Mami dulu. I've chosen you. I've prayed for you to be my wife. And the whole concept of Sarah and these absurdity is against my whole life principles. I only have eyes for you. It's an easy no for her."

Kami bertatapan sejenak.

"Jawabnya gak usah pake gombal." akhirnya aku bersuara.

"Does it work?" akhirnya dia tersenyum. Bikin meleleh.
Hell yeah, it does.

"Kinda..." aku mengangkat bahu, menghapus sisa air mata di wajahku.

"Dan kamu kenapa tiba-tiba ke Jakarts gak bilang-bilang? Emergency at work?" ia menyisir rambutku yang sudah acak-acakan dengan jari-jarinya.

"I miss you." jawabku, "I'm planning some sort of surprise dinner. And lists of weird movies you'd like."

"You've surprised us all, congratulations. Indung sih santai. Mami tuh udah panik nyuruh Ilham sama Idham keliling, mau nelpon polisi segala..."

"Gara-gara kamu juga kali!" aku mendorong dada Izar kesal, "Aku pulang bukan buat liat live scene suamiku ditawarin poligami ama crazy rich Surabayan."

"Aku yang paling kaget lah! Kamu tiba-tiba M.I.A... Sarah tau-tau muncul ke rumah. Sport jantung, ini aku masih deg-deg'an. Gak berhenti dari siang."

Aku menyandarkan kepalaku di dada Izar.
"You said no, right? To Sarah?" masih pengen make sure.
"Of course."

Aku memeluk Izar erat-erat, dia membalas. Harusnya aku tenang. Tapi somehow, ada sedikit perasaan gak enak yang masih terselip.

"Masuk yuk." ajak Izar setelah beberapa saat, "I need to do more than this hug."

Mmm. Yeah. Me too.

ElopementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang