Aku menarik nafas sekali lagi. Gedung tempat kerjaku sudah semakin dekat. Sepanjang jalan, aku dan Izar nyaris gak bicara, sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing.
It's the day.
Hari masuk kerja lagi setelah seminggu terakhir kami menghabiskan waktu di Bandung untuk Akung dan keluarga, dan ditutup manis dengan main ke Taman Safari di weekdays yang sumpahhhh memuaskan bangettttt...
Anyway.
Hari ini aku punya janji untuk ketemu dengan dua boss-ku di Coven terkait promosi jabatanku untuk jadi Leader.
And. I. Haven't. Decided. Anything. Yet.Izar serius pas bilang dia mau kami pindah ke apartemen dekat kantorku aja, semisal aku memutuskan ambil tawaran Coven.
Dia juga memintaku buat menunda punya anak dulu, kalau memang mau fokus berkarir.Sejujurnya, sikap dia kayak gini, justru bikin aku makin galau. Karena aku beneran jadi mesti mikirin matang-matang gak pakai impulsif.
Aku menimbang-nimbang, di satu sisi, kerjaanku ini bikin aku bahagia...meskipun banyak pengorbanannya juga. Well, it's not perfect. Aku tetap saja karyawan, bukan owner kan? But I still can proudly say I love it, I'm good at it, and people love me doing it. It's an achievement.
Namun, setelah Akung meninggal, dan kami stay di Bandung beberapa waktu...
Rasanya aku perlu mikirin ulang prioritas dalam hidupku, karena kebahagiaan yang aku rasakan pas bareng keluarga tuh beda rasanya dengan kebahagiaan terkait kerjaan.Cuma aku masih ragu karena gak pengen mesti sacrificing one thing over the other.
Indung bisa kerja sambil membesarkan aku.
Lian bisa misahin kehidupan kerjaan dan keluarganya sampai-sampai kami shock dia ternyata ada anak cucu.
Aku masa gak bisa sih ya?"Aku jemput jam berapa?"
Kaget banget aku dengar suara Izar, gak ngeh kalau sudah sampai depan lobby."Aku telpon jam makan siang ya." jawabku, mengambil barang-barangku dari kursi belakang.
Izar mengangguk. Mukanya juga sama tegangnya denganku.
"Good luck. Remember: you can do anything, but not everything at the same time." ia berkata serius, "We're doing this together, me and you."Aku mengangguk sebelum mencium pipi Izar dan keluar mobil, berjalan menuju kantor.
I love this guy. Like, seriously. But, do I love him more than my job? Well. I don't know.
It's been my whole life for the last few years."Ruuum! How are you?" aku disambut pelukan Mitta saat masuk kantor. Dia sempat datang bareng Ren dan Nino setelah pemakaman, tapi cuma sebentar.
"Udah better kok, gue." jawabku, membalas pelukan Mitta.
"Nourisall puas sama kerjaan kita kemarin. Nambah dua produk buat launching tahun depan!" ia melompat-lompat gembira.
Whoa. That's really good!
Kami ngobrol di meja Mitta, gak lama Nino muncul dan bergabung. Disusul Ren yang baru banget datang.
My new family.***
"Assalamualaikum, Izar." Cuma beberapa detik dan telponku diangkat.
"Waalaikumsalaam, Mia! Aku nungguin telpon kamu dari sebelum dzuhur."
Aku melirik jam dinding Coven. Sudah hampir jam 14. Beneran baru keluar banget dari ruangannya Bu Boss. Ngobrol sama Lian dan Bu Boss, waktu berjalan cepat."Mia, sebelum pulang, jangan lupa mampir HRD dulu ya, ngurusin kontrak dan lain-lainnya..." Bu Boss berseru saat melihatku. Ia dan Lian jalan mau makan siang keluar, melambaikan tangan.
"What? Kontrak?"
Izar keburu mendengar seruan super berisik Bu Boss barusan.
"Did you just...?" suaranya terdengar kecewa."Aku izin pulang cepat, Izar. Nanti aku jemput ke kantor kamu ya..." aku mengalihkan percakapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elopement
ChickLitMenjelang puncak kehidupannya sebagai perempuan karir sukses, Rumia mendadak harus menikah siri dengan tetangga/teman kecil/teman sekolah/cinta monyet/teman lamanya, demi memenuhi permintaan sang kakek tercinta. Rumia gak berminat untuk meneruskan h...