Step to The Top

40.4K 5.9K 314
                                    

Kami barusan selesai presentasi. Tim dari Nourisall, perusahaan induknya Sigma, meninggalkan kami di ruang meeting dengan makan siang. Secara garis besar, mereka sepakat dengan usulanku terkait event peluncuran Sigma, tapi kelihatan masih belum sreg dengan presentasi TVCnya. Di sisi lain, aku juga ngerasa gak sreg dengan tampilannya Sigma yang terlalu 'biasa'. Secara kasual, aku menyebut ini ke Mas Danang yang adalah brand managernya Sigma, pas kami duduk bareng, lalu dia mendadak diam sampai barusan pergi.

Aku jadi ngerasa guilty dong kannnn aaaaahhh! Kalau sampai kami tau-tau gak jadi deal, gimanaaaa?
Tapi, teman-temanku yang lain tampaknya gak ngeh sama perubahan suasana hati tim Nourisall. Cuek aja, duduk dan makan dan ngobrol nungguin keputusan klien.

"Kenapa lo, cuy?" Nino bertanya, menghampiriku yang duduk di pojokan. Ia membawakan nasi kotakku.

"Deg-deg'an gue, No. Udah datangnya hampir telat, tadi presentasi rusuh. Feeling gue gak oke nih." aku menjawab. Di hadapanku, Pris dan Ren ngobrol serius di depan laptop, Mitta dan Syala cekikikan liat handphone.

Aku hampir telat...gara-gara Izar!

***

Jadiiii subuh-subuh, dia bangunin aku, ngajakin shalat. Yawes aku nurut, karena dia juga udah beliin aku mukena baru, udah dicucinya pula, tinggal pakai. Meski sambil setengah tidur saking ngantuknya, aku ngikut juga.

Habis itu, dia ngaji. Setelahnya, tiba-tiba dengan kasual dia menawarkan untukku boboan di pangkuannya sambil nungguin pagi. Lalu, aku ndelosorlah. Dan ketiduran, demi mendengar suaranya Izar baca Quran yang sangat...well, menenangkan. Bangun jam 6 lebih, udah terlambat banget! Dengan panik aku mandi, berpakaian dan diantar langsung ke kantornya Nourisall sama Izar yang ngerasa bersalah. Nyampe sana jam 7.15, untungnya belum ada siapa-siapa, teman-teman kantorku masih di jalan.

"I'm so, so, sorry." Izar berkata, barusan habis dari minimarket buat beliin aku sarapan. Hari ini roti dan susu kotak deh. Kayak anak SD metropolitan.

"Gak papa. Aku barusan panik sih, kesiangan." jawabku sok kalem. Untungnya aku biasa siapin baju dan tas sebelum tidur. Jadi paling gak masih kelihatan rapi dalam cropped pencil pants hitam, blus sutra dan oxford shoes. Dan yang penting, laptopku gak ketinggalan.

Izar memandangiku rapi-rapi di mobil. Gak sempat dandan, gak sempat catokan, jadi akhirnya cuma bikin simple ponytail dibantu jepit-jepit yang kutemukan di dasar tas dan pakai satu lip cream untuk blush on dan mewarnai bibir.

"You looked so pretty." ia berkomentar, menatapku terlalu intens sampai bikin salah tingkah. Tangannya mengusap pipiku. Aku mulai terbiasa gak lompat kaget lagi sama sentuhannya yang sering mampir setelah beberapa hari ini kami bareng-bareng. Semalam juga, habis mandi pas mau tidur, tiba-tiba Izar menawarkan bobo peluk. Tentu saja aku menanggapi dengan wajah shock gak percaya sebelum menyelusup ke pelukannya dan tidur nyenyak di sana.

Seumur-umur aku kenal Izar, mana ada dia genit-genit atau ambil kesempatan nempel-nempel. Jaman abege, akrab ya tapi sekedar noyor-noyor, senggol-senggol, gandengan pas nyebrang doang.
Sekarang, kikikikik... Bisa dipastikan selalu ada bagian tubuhnya yang menyentuh bagian tubuhku, setiap saat kalau perlu.

"Hmmm. Mas Faizar lupa imej alim dan baik-baik ya, pegang-pegang terusss..." komentarku menggodanya sambil merapikan lipstik, bercermin di spion tengah.
Dia ketawa mendengarnya, tapi jari-jarinya gak berhenti menyusuri pipiku, turun terus sampai ke leher. Dari cermin, kulihat ia menggigit bibir bawahnya, memperhatikanku lekat-lekat. Shit. He looked so cute. Gak lucu banget aku turned on pagi-pagi gini, di mobil, mau presentasi pula.

"Zar. Kamu gak ada sosmed apa gitu?" aku memutuskan untuk mengalihkan pembahasan.

Ia menggeleng, "Ada akun kantor di IG, twitter, facebook page. Website juga ada. Udah cukup."
Kali ini ia mengusap rambutku, merapikan anak-anak rambut yang masih berantakan ke ikatan di dasar kepala.

ElopementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang