Take Turn

35.8K 5K 413
                                    

Akung is a man with a plan. Just like he planned, he went away so peacefully. Izar bangun menjelang subuh dan Akung sudah gak ada.

Beberapa tahun terakhir, aku sering tanpa sengaja kepikiran: what would I do if my Akung passed away? Beberapa skenario histeris macam nangis heboh, pingsan-pingsan ala sinetron...yeah, I thought I'd do that. Akung adalah sosok orangtua, kakek, sahabat, partner-in-crime yang witty dan cuma ada satu di dunia. Of course I'd be devastated. Of course I'd be desperate. Plus kelakuanku memang sudah dramatis sejak kecil, jadi kayaknya makes sense kalau aku all-out di hari Akungku gak ada lagi di dunia.

But surprisingly, no.
Semuanya cepat banget. Kami sedih tapi gak kaget lagi. Akung dimandikan, dishalatkan, disiapkan di rumah sakit. Pagi-pagi kami ke pemakaman keluarga sesuai permintaannya, dan dikuburkan hanya bersama keluarga serta sahabat-sahabat terdekatnya.

Aku sedih. Sepanjang subuh sampai kami duduk-duduk di depan kuburan sekarang ini, kayaknya gak berhenti mengalirkan air mata. Tapi sedih ini bukan yang menyayat hati seperti yang kupikir. Aku sedih karena menyadari kalau Akung gak ada lagi. Dia gak bakalan ngirimin aku selfie, meme jayus, sticker aneh dan capture IG receh lagi. Dia gak akan nongkrong di taman berjam-jam lagi, gambar di meja makan, ngelap-ngelap kaca dan baca koran di ruang depan lagi. Bayangan dan kenangan tentang Akung, yang selama ini jadi harta berharga dalam memori otak sebagai hal menyenangkan, secara mendadak berubah jadi sesuatu yang menyedihkan. Karena somehow, aku sempat punya harapan kalau someday, my kids will have them too. To have an adult who trusts them fully, love them unconditionally, play with all his heart with them, and laugh with them so freely...
Akung told me that I am his biggest achievement in his life.
Well. He's a greatest gift and bless in mine.

Tapi entah kenapa, ini gak menyakitkan. Kehilangan, ya. Takut, sedikit. Kangen, sudah. Gak percaya, masih.
But it's not a throbbing pain in my chest like every other people ever explained.

Mungkin karena kami sama-sama sudah tahu, kalau ini bakal kejadian. And he's kinda expecting it, no...even more like, wishing for it. He's happily went away, on his time, when he's sleeping, under anesthesia, surrounded by people who loves him the most.
Aku merasa gak punya hak untuk merasa marah atau kecewa sama Tuhan.
It's a good way to die, I guess we all agreed.

***

Menurut Izar, kami gak perlu mengadakan apapun, baik tahlil atau apalah. Beberapa tetangga datang, kami ajakin shalat berjamaah magrib dan isya. Hampir semuanya sedih juga karena Akung tuh akrab banget sama orang-orang di kompleks kami dan justru populer di kalangan abege. Udah semacam Atok Dalang buat bocah-bocah kompleks yang agenda kerjanya main mulu (kayak aku dulu sih). No wonder, banyak anak-anak dan anak muda yang ikutan datang trus nangis bareng berlanjut nongkrong.

"Usirin lah, Zar. Kenapa rumah kita jadi macam markas Brigez gini..." gerutu Idham demi melihat bocah-bocah berantakan di halaman.
Beneran. Mulai dari yang bentuknya baik-baik, ganteng gaul macam pemain FTV, sampai anak punk dan skinhead pun ada. Banyak!

"Hus."
Dah gitu doang, jawabannya Izar. Itupun diarahkan pada kakaknya.
Idham mendengus kesal dan pergi buat nyuruh anak-anak muda itu pulang.

Izar took the hardest hit among us all. Dia paling sedih, paling sering ke-gap bengong, dan paling zonk kalau dimintain tolong.

"Zar, makan dulu yuk." aku membawakan piring berisi makanan ke depannya. Dia dari siang juga gak mau makan...

Dia bergantian melihat piring lalu memandangku, dan dengan wajah datar menjawab, "Suapin."
Gile.
Kapan-kapan banget Izar begini!

Masih shock, tapi demi kesehatan suami, akhirnya aku nyuapin dia di tengah rumah yang lagi rame banyak orang. It's the most PDA stuff I've ever done, beneran deh.

ElopementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang