The Firsts

44.3K 6K 512
                                    

Ada kejutan menyenangkan di makan malam kami hari ini. Lebih menyenangkan dari hasil kontrol Akung yang semuanya baik. Lebih menyenangkan daripada ngeliat wajah Ilham keselek labu pas lagi godain aku.

Indung mengundang "teman dekat"nya selama beberapa bulan terakhir.
Sejak ayahku meninggal, Indung gak pernah ngurus siapapun yang deketin dia. Bodo amat. Fokusnya dia hanya aku, Akung dan kerjaannya. Saat beranjak dewasa, kumakin ngeh kalau Indung yang masih cantik ini sebetulnya banyaaaaaaak...banget yang naksir. Tapi ya gitulah. Prioritasnya bukan itu, meskipun aku sih oke-oke aja, dan Akung justru mendukung menantunya ini cari jodoh.

Sekarang, mungkin gara-gara aku akhirnya laku, Indung jadi sans. Dia memberi intro sedikit saat sebuah mobil asing parkir di halaman, dan menerima semua ciye-ciye kami dengan ikhlas saat mengenalkan Om Tito.

"Tito, ini bapak, anak-anak dan besan. Keluarga saya..." Indung mengenalkan kami dengan resmi. Om Tito ramah dan lucu, cocok sama Akung plus duo rebel. Aku lagi menebak-nebak dia kerja apa, dan kenapa wajahnya begitu familiar...

"Mau aku bantuin?" Izar tiba-tiba bertanya.
"Ha? Kenapa?" aku ngeskip. Dari tadi sibuk mengamati lelaki gak dikenal temannya Indung.

Tanpa menunggu jawaban, Izar menarik piringku, dengan cekatan memisahkan duri dari daging ikan kembung yang sedang aku makan. Oke, jadiiiii...aku sejak kecil belajar pakai sendok garpu, dan gak biasa makan pakai tangan langsung. Baru belajar setelah mulai hidup bermasyarakat, itu pun berantakan banget. Kalau gak sendirian, aku makan nasi padang pun pakai sendok, demi kemaslahatan pemandangan umat. Nah, kalau makan ikan, aku bisa sebetulnya, tapi lama, selain karena mataku rabun dekat, juga karena jarang makan ikan-ikanan jadi kurang jago.

On the other hand, Mami yang asli Palembang, tiap hari masak ikan. Tiga anaknya juga jagoan makan ikan, tutup mata pun bisa menulangi dan makan gak pake tersedak duri. Mereka keseleknya yang unpredictable: labu, es batu, jelly Inaco, tahu, bahkan uang logam!

Pas masa kecil dulu, tiap aku makan di rumah Mami dan ada menu ikan, Izarlah yang selalu sigap bantuin cabutin duri. Lebih karena dia ga tahan nungguin aku kelamaan makan, sih.

"Cukup?" ia bertanya, sudah selesai menumpuk daging di satu sisi piring dan duri-duri di sisi lain.

"Cukup banget. Makasih ya Izar..." jawabku semanis-manisnya.

"Eciyeeee romantiiisss..." bisik Idham yang duduk di sebelah kiriku.
Ih. Rese.

***

Setelah makan malam, aku nonton TV, sementara Akung, Indung dan Om Tito ngobrol di sofa. Mami dan anak-anaknya pulang ke sebelah. Untuk sesaat aku ngerasa balik lagi ke masa muda, gak mikirin deadline, presentasi, TVC...

"Lho, Mia. Belum siap-siap?" Izar mendadak berdiri di depanku. Cakep banget, sudah ganti baju. Dia pakai turtleneck putih dan jeans dan sepatu rapi.

"Siap-siap?"

"Aku kan tadi bilang, mau ajakin kamu ke Stanna."

OH YA AMPUN. LUPA.
Dia pengen bikin foto ya, katanya barusan. Aku buru-buru lari ke kamarku di lantai atas, ganti baju.

Nah. Persoalan klasik. Baju-baju kece nan trendiku di Jakarta. Di sini cuma ada dress dan pakaian dari era girly setengah hippies, pas masa kuliah dulu. Setelah milih-milih, akhirnya aku memutuskan pakai shirt dress putih selutut yang masih kelihatan casual, ngambil tas dan segera turun.

Pamit bentar, dan kami melaju ke Stanna.
Di jalan, aku baru ngeh. Stanna yang hotel gemes itu ternyata yang jadi project pertamanya Izar. Aku beberapa kali ke sana sebagai tamu nikahan dan sekali nginep pas trip Coven. Cute banget sih itu!

ElopementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang