When The Truth Comes Up Pt. 2

32.2K 5.5K 238
                                    

Aku terbangun dengan perasaan yang aneh. Berbagai pertanyaan muncul bertubi-tubi, tanpa aku gak bisa menjawab. Rasanya seperti melayang dalam ruangan berdinding cokelat muda, langit-langit putih. Aku tahu, ini di Rumah Sakit. Aku tahu, kemungkinan besar aku berbaring di atas salah satu tempat tidur pasien. Tapi aku gak bisa merasakan apapun di punggungku, aku gak bisa merasakan kakiku...

Sebuah suara memanggil lembut, diikuti wajah yang kukenali sebaik aku menghafal wajah ibuku. Mami.
Ngapain Mami di sini?
Pertanyaan gak keluar sebagai suara dari mulutku.

Ia tersenyum menatapku, kurasakan jari-jarinya mengusap rambutku.
"Mia. Tidur lagi ya."
Aku langsung kembali ke masa-masa kecilku, saat Akung mesti ke luar kota, dan Indung menitipkanku ke rumah Mami. Aku biasa tidur siang di rumahnya, di kasurnya.

Pelan-pelan aku kembali ke kegelapan yang kini terasa menenangkan.

***

Aku terbangun lagi, kali ini semua kesadaranku kembali sepenuhnya. Dan yang pertama kali kulihat adalah Ilham, sedang duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya.

Ia menyadari gerakanku yang bangkit dari tidur, dan segera menepikan laptop, bergegas menghampiri.
"Mia! Wohohoho..." Ilham cengengesan, "Mesti dipanggilin dokter atau suster atau siapa gitu gak?"

Aku menggeleng.

"Yakin? Gak pengen pipis atau apa gitu?" tanyanya lagi.

"Kok kamu sih yang disini?" aku balik bertanya.
Bukan Indung, bukan Akung, bukan Izar. Tapi dia. Anggota kembar blangsak yang aku baru sadar pun mukanya udah jahil.

"Kemarin tiba-tiba Izar nelpon, malem-malem, trus Mami langsung cus pake travel ke Jakarta buru-buru. Hari ini aku datang pagi, sekalian ada meeting nanti. Indung sama Akung baru pada datang siang ini sama Idham."

Pelan-pelan aku mencoba mengingat kejadian terakhir. Di studio tempat syuting iklan, aku mau pulang, trus kesandung, trus jatuh...
Aku meraba belakang kepalaku. Aaaaargh. Nah iya. Ini pasti. Ada benjol besar terbungkus perban di bagian belakang kepalaku, yang nyeri meski cuma tersentuh sedikit.

"Katanya kamu lagi sakit, trus anemia, trus gegar otak ringan gara-gara kejeduk pas jatuh kesandung..." Ilham membenarkan perkiraanku, sebelum menggelengkan kepala, "Ck, ck, ck. Mia banget deh. Clumsy, rusuh, grusuk-grusuk... Repot bener Izar dapetnya kamu. Emang cuma orang beriman yang ujiannya berat sih yak..."
Asem.

"Daripada gak laku." jawabku.
"Dih. Kata siapa gak laku! Pilih-pilih, aku mah!"
"Myeh."
"Udah sehat, ya. Udah bisa aja ngenye-ngenye. Hih, kualat nanti ngatain kakak ipar..."

Perdebatan gak jelas itu berlangsung singkat, tapi cukup buat bikin aku merasa jauh lebih baik. Well, yes. Make sense. Beberapa waktu terakhir aku kurang tidur dan makan gak teratur, lagi mens pula... Ditambah jatuh sampai benjol besar? Wow. Kecelakaan yang memalukan di tempat kerja.

"How's life, Mia?" Ilham bertanya, kali ini beneran.
"Been busy." jawabku sebelum minum.

"Are you happy? Atau Izar bikin kamu hidup menderita? Udah disuruh pake gamis bercadar, mungkin? Atau tiap Senin Kamis disuruh puasa, gak dikasih makan?"

Hmmm. Well. I'm actually happier lately. Gak cuma soal kantor, tapi juga tentang banyak hal lain: our Tuesdate, diajakin shalat, dengar Izar ngaji, makan bareng, lihat Izar dan obsesi mesin cucinya yang aneh, gantian bersih-bersih rumah, belanja ke LotteMart, diantar-jemput tiap hari, ditelepon, tangannya Izar yang terampil bikin kepangan rambut, tidur peluk...and all the love making we did. I feel loved. Hidupku jauh lebih berwarna dan menyenangkan banget belakangan ini.
"Yes."

"Yes mananya dulu nih?" ia terlihat shock.
Ilham masa sih beneran mikir aku dipaksa puasa?

"I'm happy."
"Izar bilang kamu lagi marah sama dia... Jadi dia feeling guilty banget, kelihatannya."

ElopementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang