1. Dismissal

1.1K 165 228
                                    

Cahaya temaram berasal dari lampu tidur di atas nakas. Suasana terasa hening. Hanya ada dua manusia di dalam kamar mandi yang terhubung langsung di samping kamar motel.

Di dalam ruangan sempit dan lembab tersebut, terdapat seorang pria berkemeja hitam dan seorang gadis berpakaian minim dengan sebuah borgol membelenggu tangan gadis itu di balik tubuhnya, mulutnya tertutup lakban hijau, sehingga meski gadis itu sejak tadi mencoba menjerit meminta tolong suaranya teredam.

Air mata perlahan mengalir membasahi wajah sang gadis. Dirinya merasa malu dan kesal dalam satu kesempatan. Pantulan dirinya dalam kaca membuatnya merasa hina.

"Aku hanya ingin mengambil gambarmu, kau hanya perlu berpose." Pria dengan kemeja itu kemudian mendekat setelah mengenakan sarung tangan karet, meraih dagu sang gadis untuk didongakkan, tetapi sang wanita memberontak membuat sang pria naik pitam, hingga menampar kencang pipi kanan sang gadis, membuat bekas merah tercetak jelas. "Diam kau, Jalang!"

Tangis Alluna yang semula tertahan akhirnya keluar dan kian mengencang. Kedua tangannya yang sejak terkunci di belakang saat ini sibuk berusaha menekan tombol pada gelang yang dia kenakan. Berharap sebuah panggilan tersambung dalam jam tangan pintar miliknya.

Suara bell terdengar dari ruangan seberang --ruang kamar. Membuat aksi sang pria tertunda sejenak dan segera menuju pintu, menilik siapa gerangan yang mengganggu kesenangannya.

"Perasaan, ku tak memesan sesuatu." Tanpa curiga sang pria langsung saja membuka pintu kamarnya yang bernomor 702. "Saya tidak..."

Pria dengan tubuh kekar segera menerobos masuk, meninggalkan sang pemilik kamar di belakangnya dengan raut kesal. Setelah mencari seluruh isi kamar tak didapatinya orang lain, dia akhirnya menoleh ke arah pria pemilik kamar yang kini tengah berdiri di belakangnya dengan tatapan kesal.

"Apa yang kau inginkan dengan menerobos masuk kemari?"

Tak ada sahutan, pria yang memiliki tubuh kekar tersebut kemudian menilik ponsel pada saku celana jean yang dikenakannya. Dalam lokasi GPS yang ditunjukan, kliennya benar ada di sini. Aplikasi mereka akurat —tak mungkin salah.

Ada hal yang mencurigakan, sejak tadi pandangan pria pemilik kamar tak pernah lepas dari pintu yang menghadap utara, membuat pria yang akrab dipanggil Papa Tua tersebut membuka pintu bercat putih tersebut, menerobos masuk. Teriakan yang berisi umpatan dari sang pemilik kamar tak diindahkannya.

Gadis dengan penampilan tak terlihat baik tersebut, terduduk dengan lutut ditekukuk dan tangan yang dikunci di belakang.

"Brengsek!" Papa Tua tanpa ampun menerjang, pria berkemeja hitam tersebut. Terus memberikan bogem mentah, tak terlihat ingin memberikan ampun meski wajah sang korban telah lebam dan dihiasi darah.

Masih dengan amarah yang masih memuncak, Papa tua bangkit dan menarik paksa korbannya — membawanya ke dalam ke dalam ruang lembab tersebut dan mendorongnya kencang hingga menubruk kaca kamar mandi, membuat korban mengeram menahan sakit di bahu dan punggungnya. Sementara Alluna yang menyaksikan tersebut dibuat takut dengan aksi beringas Papa Tua.

"Lepaskan borgolnya, jika kau masih ingin ampun dariku." Dengan merangkak, pria itu berjalan mendekat pada kursi yang dia bawa, di mana dia meletakan tas hitam miliknya. Dia mengeluarkan kunci kecil di balik saku tas tersebut. Dengan rasa takut pria itu menurut dan segera melepaskan mangsanya.

"Jika kau ingin bermain, sebaiknya lebih hati-hati!" Entah itu nasihat atau justru peringatan. Karena dari nadanya terdengar mengitimidasi.

●●●

"Ada apa dengan wajahmu?" tanya Irene dengan wajah terkejut yang duduk di bangku bersebrangan dengan sahabatnya, Alluna.

"Jatuh dari tangga," ujarnya berbohong, masih dengan ekspresi  tenang sambil menyesap kopi hitam miliknya yang sudah lama dia pesan.

Sinar matahari sore bersinar dari arah barat mengusik mereka. Kebetulan saja, mereka memesan bangku meja yang berada di halaman cafe. Luka lebam makin terlihat jelas saat tersinari. Irene tak pandai menutupi terkejutnya, saat dilihatnya luka sayatan yang sejak ditutupi oleh sahabatnya.

"Jangan melihatku begitu." Suara Alluna terdengar dingin, membuat Irene menoleh tak percaya.

"Darimana kau dapat luka itu?"

"Sudah kubilang aku jatuh dari—"  Belum sampai kalimatnya, Irene bangkit dan segera menyibak rambutnya yang sejak tadi menutupi dahinya.

"Shit!"

"Kau mengumpat kepadaku?"

"Ya. Kau bodoh atau apa? Bagaimana wajahmu seperti itu. Pria mana yang menyakitimu, dia kekasihmu itu bukan?!"

Alluna hanya bisa diam membisu, saat sahabatnya mengomel di hadapannya -nyatanya Alluna tak dapat mengatakan apapun, lebih baik dia simpan masalahnya ini sendiri.

"I see, lihatlah. Sekarang pun kau hanya diam!" Amarah Irene terlihat menjolak.

"Bukan itu, aku bisa tangani ini sendiri" Dan mendapat gelak tawa Irene yang terlejut tak percaya.

"Kau masih mau membelanya dengan menutupinya? Jangan bodoh!"

"Ini masalahku, jangan ikut campur!" Tanpa sadar Alluna menaikan nada bicaranya, dan sukses membuat Irene tercengang di tempatnya. "Maaf, tapi aku harus pergi." Alluna segera meraih tas tangannya di atas meja dan meninggalkan sahabatnya.

Sejujurnya dia tak ingin berteriak, tetapi memilih untuk tinggal di sana hanya akan menyisakan suasana canggung di antara mereka.

Alluna ingin membagi masalahnya, tetapi tidak saat ini. Akan ada waktu untuk dirinya siap.

●●●

Mr --nama itu tertara dalam pesan chat dalam aplikasi rahasia di ponsel miliknya. Alluna yang baru saja mendudukan dirinya di bangku kemudi, akhirnya membuka pesan tersebut.

Kontrakmu berakhir.

"Shit!"  Tanpa sadar Alluna mengeluarkan umpatannya, dan memukul stir kemudi di hadapannya. Dua kata dalam satu kalimat itu membuatnya kesalnya bukan main.

Jika saja, semalam dia tidak seceroboh itu, dia pasti tidak akan berakhir seperti ini.

Sayangnya aplikasi ini hanya dapat menerima pesan tanpa bisa mengirim balasan. Alluna dibuat kesal, dalam detik ini dia sudah menjadi pengangguran.

Bunyi ketukan di kaca mobil di sampingnya membuat Alluna menoleh. Seorang pria dengan masker menutupi sebagian wajahnya dan serta pakaian serba hitam berdiri tepat di samping mobilnya. Alluna ragu membuka kaca jendela mobilnya, bisa saja pria itu berniat buruk dengan menyerangnya. Tangan Alluna berusaha meraih pisau lipat yang selalu dia bawa dalam tas miliknya. Dengan waspada, Alluna membuka kaca mobilnya.

Sebuah amplop coklat terlempar dan mendarat tepat pada pangkuannya.  Pria itu segera berlalu pergi setelah melemparkan benda yang tak diketahui apa isinya.

Dengan penuh hati-hati, Alluna membukanya. Di dalam sana ada sebuah salinan surat perjanjian yang sempat dia tanda tangani. Ponsel kembali bergetar saat tangannya hendak meraih kertas lain di dalam amplop tersebut.

Sebuah pesan tanpa nama, pelipisnya mengeriyit penuh tanda tanya. Pesan tersebut berisikan link, meski ragu akhirnya jarinya nya menekan link tersebut -hal yang mengejutkan terjadi layar ponselnya seketika mati. Alluna yang terkejut segera menekan tombol kunci ponselnya, dan akhirnya ponselnya kembali terbuka. Ponselnya terlihat berbeda dari sebelumnya, display layarnya kembali seperti awal -ponselnya telah tereset.

Sebuah pesan kembali masuk, sama saja tanpa nama. Kali ini Alluna lebih waspada meski mulutnya tak henti memberikan umpatan pada pengirim pesan yang telah mereset ponselnya.

Terima kasih pernah bergabung dengan kami. Sesuai kontrak anda diminta merahasiakan apapun yang anda lakukan bersama kami.

Alluna membuang ponselnya kesal. Pelakunya tidak lain adalah pria yang baru saja memutuskan kontrak dengannya secara sepihak dengannya. Alluna mencoba membuka kembali amplop coklat miliknya, dan cek kertas dengan nominal $10.000 berada di tangan kananya. Entah harus senang atau kesal. Alluna hanya dapat menyembunyikan wajahnya dalam lipatan tangannya di atas stir mobil.

Tbc

V.I.P  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang