12. Hurt

139 52 21
                                    

Glendy pulang dengan wajah masamnya. Dalam kepalanya berputar berbagai cara untuk menghabisi pria bernama Yoan, dari yang kejam hingga paling kejam.

Dean melihat kilat amarah itu dari wajah adiknya. Memang adiknya itu tak akan mengucapkan salam saat kembali, seperti anak lain pada umumnya, karena sifatnya yang terlalu diam --tetapi Dean kenal baik amarah laki-laki yang sudah dua puluh tahun menjadi adiknya itu.

"Jangan patahkan leher seseorang." Suara Dean yang tiba-tiba sudah berada di kamarnya, tepatnya di belakangnya membuatnya menoleh menunda acaranya yang tengah berganti pakaian.

"Maaf aku tak bisa janji."

"Tentang pelaku yang membuat  kepolisan ramai, kau tahu siapa pelakunya bukan?"

Glendy segera mengenakan kaus hitamnya dan mengambil bola karet hijau yang terletak di atas mejanya, lalu memantul-mantulkannya di lantai.

"Entahlah, tapi aku telah menebak satu nama." Kali ini Glendy memilih berbaring di kasurnya dan memantulkan bola karet yang sejak tadi di mainkannya ke langit-langit.

"Dari yang kudengar mereka hanya membajak tanpa mencuri apapun, bukankah itu mencurigakan?" Dean memilih mendekat dan duduk pada kursi belajar Glendy menghadap laki-laki yang tengah berbaring itu.

"Jika ingin mencuri itu terlalu sulit, kepolisian memiliki keamanan yang cukup tinggi." Glendy bangkit dari baringnya dan segera mengankap bola yang jatuh dari langit kamarnya dengan tangan kanannya. "Tujuannya untuk memancing, meski beresiko karena dia sekarang adalah buronan. Entah mengapa, dia seolah memintaku untuk segera menampakan diri." Dean melihat jelas kilat dimata coklat itu. "Sayangnya, kurasa dia akan porak poranda setelah ini."

●●●

Dua tahun lalu, dalam ruang persidangan.

Glendy menatap dengan ekspresi dingin, pria yang tengah meronta saat dua orang polisi hendak membawanya setelah hasil sidang telah ditentukan oleh hakim. Lima tahun, hukuman yang hakim putuskan untuk Candra,  ayahnya.

Candra sempat menoleh ke arah Glendy, tersenyum sekilas sebelum menurut saat polisi membawanya. Glendy mengepalkan kedua tangannya di samping tubuhnya, tak terima melihat Candra yang dibawa polisi.

Dadanya bergelora. Dia merasakan hasil sidang hari ini tak adil. Ayahnya tak pernah menggelapkan dana apapun, jelas ayahnya difitnah. Sejak saat itu, dia tak percaya dengan kepolisian atau pun yang berhubungan dengannya.

Kekesalannya tak berakhir, saat pada hari sebelumnya, pelaku yang hendak memperkosa gadis yang sempat ditolongnya tak berhasil ditangkap dan dianggap angin lalu. Kasus tersbut seolah terburu-buru ditutup tanpa hasil yang pasti.

Setelah dia ditinggalkan ayahnya, mau tak mau dia harus mulai belajar hidup sendiri. Ayah dan ibunya telah berpisah sejak dia masih dua belas tahun, dengan dia tinggal bersama ayahnya dan ibunya yang membawa kakaknya.

Tak lama, sekitar seminggu setelah ayahnya penjadi tahanan, ibunya kembali dengan pasangan barunya yang digadang-gadang sebagai papa tirinya dan juga Dean, kakak kandungnya.

Kala itu Glendy kecewa, dia bahkan mengamuk berat pada kakaknya, mengapa kakaknya itu bisa menerima pria baru sebagai ayahnya. Sementara, ayah kandung mereka sedang mendekap di penjara dengan hukuman yang sebenarnya tak pantas untuknya.

Dua bulan, Glendy selalu telat pulang dan bahkan sesekali memilih menginap di luar. Hingga suatu hari, Dean berdiri di depan pintu warnet yang biasa dia datangi. Tak ada pertanyaan apapun saat itu, mereka hanya jalan berdua menghabiskan waktu bersama makan ayam goreng kesukaan mereka. Lalu saat petang tiba, Dean memberikan sebuah kotak hadiah kepadanya. Glendy yang merasa tak ulang tahun pada hari itu pun menyatukan alisnya, dengan pandangan bertanya. Tanpa mengajaknya pulang bersama, Dean berjalan menjauh meninggalkannya dengan kotak di tangannya.

V.I.P  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang