17. Get It

70 22 4
                                    

Glendy dapat mendengar samar-samar suara pria yang berada di sekitarnya, meski kesadarannya belum sepenuhnya kembali. Rasa pening terasa menyambar kepalanya, belum lagi badannya entah mengapa terasa berat.

Dengan kesadaran setengah, dia merasakan tubuhnya mulai di angkut, dipindahkan entah ke mana. Glendy yang tak memiliki tenaga untuk terjaga apa lagi melawan hanya pasrah saat tubuhnya dilempar dan dimasukkan ke dalam bagasi mobil.

Gelap, pengap rasanya sangat tak nyaman. Belum lagi getar dari mobil saat melalui jalan yang tak halus.

Dalam batinnya dia berharap, setidaknya dapat bertemu sinar mentari esok hari. Meski, sebenarnya dia tak yakin, karena bisa saja saat ini para pria itu hendak membuangnya.

●●●

Kesal bukan main, amarahnya memucak. Dadanya bergelora, kakinya sejak tadi tak henti menendang tong kayu yang tak bersalah untuk melapiaskan kekesalannya.

"Sial!" Dean berteriak kencang. Emosinya tak terkendalikan. "Brengsek kau, Yoan!"

Setidaknya jika dia datang lebih cepat, dia yakin jika dia dapat menyelamatkan adiknya. Sayangnya, melacak tempat persembunyian Yoan tak seperti membalikan telapak tangan. Yoan, pria itu sangat licik.

Saat ini Dean berharap, semoga dalam penyelidikan polisi Glendy berhasil didapatkan.

●●●

Yoan hanya diam, dia tak menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya.

"Sepertinya, Anda akan terus diam," ujar penyidik yang sudah mulai lelah, dia telah mengajukan lima belas pertanyaan, tetapi tak satupun yang dibalas.

"Saya akan membalas, jika gadis itu berbicara," ucap Yoan diplomatis. Penyidik tentu paham, siapa gadis yang dimaksud. Dia adalah Alluna, yang merupakan korban pada saat penangkapan.

Namun, sepertinya keadaan gadis itu tak tampak baik. Mentalnya tertekan saat ini, gadis itu hanya diam terpaku. Jangankan membalas pertanyaan, bahkan gadis itu akan begidik ketakutan saat seseorang berusaha mendekat ke arahnya.

"Bawakan dia," pinta sang penyidik, seseorang yang tengah mengamati mereka di balik kaca segera keluar untuk dibawanya masuk ke dalam ruang introgasi, sementara Yoan dia bawa kembali ke dalam sel tawanan sementara.

Alluna tampak sangat gelisah. Dia menolak dengan ekspresi takut, tetapi akhirnya gadis itu berjalan masuk ke dalam ruang introgasi.

"Selamat siang," sapa sang penyidik untuk mencairkan suasana, dengan berusaha lebih akrab. Sayangnya, Alluna tak membalas, dia hanya diam, dengan tatapan yang lebih tenang. Sejatinya, gadis itu tengah mengontrol kuat degup jantungnya yang berdetak tak beraturan saat ini.

"Sebenarnya, kau adalah korban, tetapi kami juga perlu keterangan dari Anda..."

"Saya akan gunakan pengacara," potong Alluna cepat.

"Baiklah, itu lebih baik. Melihat keadaan Anda saat ini, sepertinya juga akan sulit saya melakukan wawancara."

"Bolehkan saya meminta minum," pinta Alluna dan segera disetujui.

Sebotol air mineral dan satu gelas teh hangat telah disajikan di atas meja.

"Saya harap Anda akan lebih tenang setelah meminum teh hangat. Teh baik untuk membantu."

"Terima kasih atas sarannya, tetapi air putih saja cukup." Sang penyidik memberika Alluna waktu untuk menenggak minumannya, hingga akhirnya membiarkan Alluna keluar dari ruang integrosi.

Alluna tersenyum cerah saat matanya dapat menemukan Dean. Gadis itu bahkan lekas berlari menuju laki-laki itu, meninggalkan beberapa orang di belakangnya menatap terkejut ke arahnya.

V.I.P  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang