14. Hurt

110 33 14
                                    

Dean tak bisa menghentikan rasa khawatir yang mengganggunya sejak malam. Laki-laki itu bahkan tak bisa terlelap semalaman. Matahari kian meninggi, jarum jam di pergelangan tangannya pun sudah menunjukan pukul delapan lewat, tetapi wajah adiknya belum juga tampak.

"Masuklah, cuaca dingin. Kau menunggu siapa?" Suara ibunya membuatnya terkejut dari arah pintu, saat dirinya sejak tadi sibuk berjalan menunggu adiknya di pelataran rumah.

"Glendy belum kembali sejak kemarin," balas Dean dengan wajah khawatir.

Laura, wanita itu sempat menggeleng sebelum akhirnya berkata, "Bukannya itu sudah biasa, ayo masuk!"

"Tidak, aku akan menunggunya sebentar lagi."

Memang semenjak ibunya memutuskan kembali bersama mereka, Glendy sempat tak pulang ke rumah. Tidak hanya beberapa kali, itu terjadi sangat sering --tetapi setelah mengajak lebih dewasa, adiknya itu mulai belajar menerima dan mulai kembali pulang ke rumah, meski sifat dinginnya itu tak terpatahkan.

Glendy, adalah anak yang terluka. Sayangnya luka itu berada di hati. Dean tahu, adiknya itu berusaha terlihat kuat, meski sebenarnya dia sangat rapuh. Dia hanya bisa menghindar tanpa bisa melampiaskan kekesalannya.

Maka, saat Dean mengetahui Glendy mulai tertarik dengan seorang gadis. Ada harapan, seolah terbit begitu saja. Jika bukan dia yang akan membantu mengobati luka Glendy. Dia akan membiarkan orang lain yang akan  menemani hidup adiknya. Apapun dia akan lakukan, dia tak ingin kehilangan atau pun dijauhkan lagi.

Sudah hampir pukul 10. Dean tak tahan lagi, dengan muka yang sedikit merah, dia masuk ke dalam rumah meraih jaket dan kunci mobilnya.

Dean sudah mengumpulkan banyak informasi. Dia tak ingin kecolongan lagi. Dia berusaha mencari apapun yang adiknya lakukan di luar sana, termasuk identitas Alluna, gadis yang mengisi hati adiknya.

Tak butuh waktu lama untuk akhirnya dia sampai pada rumah berlantai dua milik keluarga Alluna. Dia segera berjalan mendekati pintu, lalu menekan bel. Seorang wanita menyapa ke hadirannya dengan senyum hangatnya.

"Bisa bertemu dengan Allunanya, Tante?" Senyum Dean menyungging, terlihat sopan.

"Teman Alluna? Tunggu sebentar."

Dean menunggu di luar sambil membuka ponselnya, berharap ada notifikasi dari adiknya yang masuk ke ponselnya, sayang hasilnya nihil.

"Siapa?" Suara gadis membuatnua menoleh dari belakang. Tepatnya di depan pintu.

Alluna memiliki bentuk mata yang menarik, dengan hidung tajam. Wajah natural gadis itu membuatnya terkesima, pantas saja Glendy menaruh hati.

"Kau Alluna?" Kedua alis Alluna menyatu, bagaimana laki-laki itu mengetahui namanya.

"Kau mengenalku?"

"Aku Dean, mungkin aku sedikit mengejutkanmu tentang kedatanganku, aku adalah kakaknya Glendy," menyapa dengan mengulurkan tangan kanannya mengajak berjabat tangan.

Sedikit apanya, Alluna kini justru diam menelisik pria yang di hadapannya. Mengapa dia datang, lalu bagaimana pria yang mengaku kakaknya Glendy bisa sampai menghampirinya ke mari.

"Ah.. Kakak, bagaimana aku panggil..."

"Panggil Kakak juga tak apa." Alluna mengangguk. "Kau dapat kabar Glendy?" Pertanyaan Dean justru menimbulkan tanda tanya pada benak Alluna.

Bukankah laki-laki di hadapannya itu baru saja mengaku kakaknya, bagaimana bisa dia justru menanyakan kabar Glendy kepadanya.

"Aku tahu kau pasti bingung kenapa aku manyakan demikian, tetapi Glendy belum pulang sejak kemarin, kalian teman bukan? Kau tahu sesuatu tentang dia?"

V.I.P  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang