15. Bad Dream

117 29 19
                                    

Dean meraih kedua bahu gadis itu, mencoba membuat gadis itu diam. Saat gadis itu mendongak dengan pandangan berkaca, pikiran lain berkecamu dalam benaknya.

"Katakan," bujuk Dean.

"Ak..aku mau pulang," pinta Alluna dan Dean menyetujuinya. "Akan kuantar pulang."

Setelah mendengar semua informasi yang mereka butuhkan, mereka segera pulang. Dean melajukan kecepatan mobil yang dibawanya dengan kecepatan tinggi, hatinya tengah berkecamuk tentang bagaimana keadaan Glendy saat ini, meski sejak tadi laki-laki itu hanya diam.

Alluna melirik sekilas Dean dengan ekor matanya, meski tak memperlihatkan, Alluna yakin laki-laki itu tengah merasah gelisah, terbukti dari gerakan tangan pria itu yang tak berhenti meremas di balik stir.

"Seperti kata Kakak, Glendy pasti baik-baik saja." Entah mengapa Alluna mengucapkannya, dia juga ingin Dean merasakan sedikit tenang. Dan sepertinya itu berhasil, Dean sempat menoleh ke arahnya sambil tersenyum.

"Ya, Glendy selain cerdas anak itu juga kuat."

Mereka mengharapkan hal yang sama, dan mungkin melantunkan doa yang sama untuk orang yang sama pula.

●●●

Yoan, pria itu mencengkram dagunya. Wajahnya mendekat hendak mencium bibirnya, tetapi dengan cepat Alluna menolehkan wajahnya. Senyum miring tercetak jelas di wajah Yoan. Dia semakin tertarik dengan gadis yang tengah meronta di dalam kukungannya.

"Hai, aku hanya akan bermain dengan tubuhmu. Kau pasti juga akan menikmatinya." Tangan Yoan mulai menggerayangi tubuhnya, dari kaki bawahnya hinga akhirnya mengusap pahanya yang hanya setengah tertutupi pakaian yang dikenakannya.

Alluna merasa hina pada dirinya sendiri. Dia tampak murahan dengan dress merah ketat dan pendek yang membalut tubuhnya.

Saat tangan Yoan hampir menyentuh kewanitaannya, Alluna membentur kepalanya pada kelapa Yoan, membuat pria itu mengaduh. Pening datang menyerang kepalanya, meski demikian Alluna harus lolos. Dengan cepat tanpa mengenakan alas kaki, Alluna segera berlari mendekati pintu, sayangnya saat kakinya baru saja di depan pintu Yoan berhasil menangkapnya, menarik pergelangan tangannya paksa sebelum dilontarkannya pada sofa. Yoan menindih tubuhnya menghimpitnya, Alluna terus meronta di bawah tubuh kekar pria tersebut. Tangannya berusaha menggapai apapun yang dapat membantunya. Saat matanya berhasil menangkap botol minuman keras di meja. Alluna dengan sekuat tenaga berusaha meraihnya.

Prang

Botoh kaca itu pecah menubruk kepala Yoan. Darah mengalir dari pelipisnya. Alluna tak ada waktu untuk mengamati. Gadis itu segera berlari dengan langkah sedikit terseok, tubuhnya yang menubrung sofa sedikit memberikan sakit di bagian pinggul dan kakinya. Yoan pria itu, bangkit dan meraih salah satu pecahan kaca dan berlari hendak melukainya

"Tidak!"

Keringat membasahi pelipis Alluna, napasnya memburu. Untung saja, itu hanya mimpi. Tangis pecah setelahnya, bahkan hingga kini, dia belum bisa menghilangkan kenangan buruk itu.

●●●

Dean terlihat terkejut dengan kedatangan Alluna hari ini. Pasalnya, pagi-pagi sekali gadis itu telah datang ke kediamannya, dengan niat yang mengejutkan.

"Alluna aku tahu kau mengkhawatirkan Glendy. Aku pun sama, tetapi aku tak bisa membawamu ke dalam bahaya. Rencanamu terlalu beresiko."

Allina menggeleng, gadis itu kekeh dengan keinginanya. Dia telah memikirkannya sejak semalam. Terdengar gila, tetapi tak ada yang tahu jika tak mencoba.

"Aku butuh Kakak dalam rencana ini, kumohon," pinta Alluna dengan wajah memelas, tetapi sama dengan Alluna. Dean pun teguh dengan pendiriannya.

"Alluna dengarkan aku..."

"Tidak. Kakak yang mendengarkanku!" Alluna berteriak frustasi di hadapan Dean. Gadis itu segera menyembunyikan wajahnya dengan menunduk, saat sadar apa yang baru saja dia lakukan.

Dean tergelak tawa. "Entah apa yang membuatmu berbeda dari kemarin. Kau tampak yakin hari ini. Semoga saja Glendy tidak membunuhku setelah ini."

Alluna terdiam dengan wajah bingung bertanya. Membuat Dean tersenyum, mungkin setelah ini Glendy mungkin benar-benar akan menghajarnya.

"Seharusnya bukan aku yang mengatakannya, tapi kupikir kau harus tahu. Glendy menyukaimu."

Entah mengapa yang terjadi pada jantungnya, tetapi Alluna merasakan debaran pada dadanya. Wajahnya pun terasa panas. Dia hanya diam mematung dengan pikiran yang bergejolak dalam dadanya. Beginikah efek sebuah kalimat.

"Wajahmu memerah." Kalimat yang terlontarkan Dean membuat Alluna tersadar dan buru-buru menutupi wajahnya. "Sepertinya cintanya tak sepihak."

●●●

Dean menolak tentang beberapa bagian dalam ide gila yang Alluna sampaikan. Bagaimana pun keselamatan gadis itu harus terjamin.

"Kita bukannya menyelamatkan seseorang, tetapi justru membahayakan yang lain." Dean lagi-lagi mengeleng.

Dean tak habis pikir bagaimana Alluna merancang rencananya itu, jelas itu sangat berbahaya untuk gadis itu.

"Yoan adalah penggila wanita, dia pasti akan mencari wanita meski dalam terdesak." Alluna mencoba menjelaskan, berusaha meyakinkan Dean.

"Tapi aku tak bisa mengirimmu ke sana hanya untuk menyelamatkan adikku. Aku memang menginginkan adikku kembali, tapi mengorbankanmu adalah hal gila jika aku sampai melakukannya." Tak ingin kalah dengan Alluna, Dean mulai mengajukan opininya. "Kita bisa gunakan cara lain," bujuk Dean, tetapi lagi-lagi tak diindahkan oleh Alluna.

"Ini cara tercepat, aku akan menghubungi Yoan tak peduli pendapatmu. Jika kau mau melindungiku, maka tolong saat ini, aku memohon pertolongan." Wajah putus asa Alluna membuatnya luruh.

"Baiklah, aku akan berjaga-jaga di sekitarmu, tetapi ingat kau juga harus ekstra hati-hati!" Alluna mengangguk cepat, gadis itu tersenyum setelahnya, meski hatinya tengah kalut saat ini. Bisakah dia bertemu Yoan, siapkah hatinya saat mata mereka bersisi tatap nanti.

●●●

Tangan Alluna tak henti bergetar, gadis itu telah berhasil mendapatkan nomor Yoan dengan sedikit bantuan informan yang dimilikinya, Yuri--gadis yang waktu lalu sempat membantunya.

Dean merebut ponsel gadis itu dan mendial nomor yang tertera dalam potongan kertas di atas meja. Setelah nada sambung, Dean memberikan ponsel itu kepada Alluna. Entah apa yang membuatnya gugup, rasa takutnya di masa lalu atau rencananya.

"Halo," suara Alluna terdengar bergetar, dengan sekuat tenaga gadis itu menarik napasnya lalu menghembuskannya. Tak ada sahutan, Alluna kembali memanggil, "Hallo, Tuan."

Sejenak hening sebelum suara berat itu masuk ke telinganya. Suara itu, yang selama ini dia hindari, pemilik suara itu -adalah sosok yang menghancurkannya di masa lalu.

"Siapa?" Alluna berusaha mengatur napasnya tenang, sementara Dean hanya diam mengamati di samping gadis itu. "Apakah Tuan melupakannku, aku Alluna."

"Alluna?" Sepertinya di seberang sana sedang mencoba mengingat, itu adalah hal yang wajar, karena kebiasaan buruk Yoan yang sering berganti wanita.

"Ah aku ingat kau lady, ada apa? kau merindukanku?"

Dalam hati Alluna memaki pria tersebut, ingin sekali dia mematahkan leher pria itu agar tak memanggilnya semaunya.

"Tuan, bisakah aku bertemu denganmu?"

"Bertemu?"

"Ya, aku akan mengirimkan sebuah alamat club malam, aku menunggu Tuan. Datanglah jika Tuan merindukanku." Alluna meruntuki lidahnya. Dean menunjukan ibu jarinya, membuat Alluna tersenyum bahagia.

Gadis itu telah berusaha banyak untuk hari ini.

Tbc

V.I.P  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang