2. Mr

463 133 85
                                    

Ponselnya yang berada di atas meja bergetar sejak tadi, dan beberapa pesan masuk ramai mengisi ponsel pintarnya. Sayangnya, hati sang pemilik ponsel tak ada di tempatnya. Dia menyesali apa yang baru saja dilakukan jarinya, tetapi apa boleh buat, ini lebih baik daripada sosok yang dalam pikirannya lebih jauh mengambil peran dalam permainan yang dia buat.

Dengan setengah hati, tangannya membuka ponselnya untuk melakukan panggilan tanpa memedulikan pesan yang berjobol masuk. Dengan menekan panggilan cepat nomor satu panggilan segara terhubung.

"Dalam satu pekan kita tak beroperasi, sementara para VIP akan diliburkan."

Sosok yang kerap mereka sebut dengan MR, tak ada yang mengetahui identitasnya --untuk melakukan panggilan semuanya telah ter-setting dengan baik, suara aslinya akan tersamarkan, lebih terdengar seperti robot.

Setelah melakukan panggilan, dia  meletakkan ponselnya ke dalam laci, bersama tumpukan ponsel lainnya yang dulunya sempat berfungsi sama.

●●●

"Sejak kemarin aku belum melihat Alluna, kau tahu dia di mana?" tanya Geisha pada Irene, sayangnya sahabatnya justru diam tak merespon, bahkan seolah tak peduli, tetapi dari sikap Irene membuat Geisha memicing curiga. "Ada sesuatu yang tidak aku ketahui, tetapi kalian ketahui?" Irene menunjukkan muka datarnya dengan tatapan dinginnya.

"Sejak kapan kau jadi berisik sekali?" sindir Irene tak seperti biasanya. Pasalnya, Irene adalah gadis dewasa sejauh yang dia kenal.

"Kau ada masalah?" kali ini Geisha bertanya dengan nada suara lebih tenang. Sementara, diamnya Irene justru membuat Geisha berujung kesal.

"Kau bisa percaya padaku." Ucapan Geisha membuat Irene menimbang dan menoleh ke arah sahabatnya.

"Sepertinya Alluna tidak dalam keadaan baik." Kerutan di kening Geisha kian menambah. "Kemungkinan dia berbohong kepada kita saat ini."

"Bohong tentang apa?"

"Tak sengaja, kemarin aku melihat pria misterius menghampirinya."

***

Irene terkejut, atas sikap Alluna yang tiba-tiba meninggikan nada suaranya saat bicara padanya, tetapi rasa terkejutnya itu tak dapat mengalahkan rasa penasaran mengapa sahabatnya memperoleh luka sayatan di dahinya.

Setelah menata barang miliknya di atas meja dan memasukannya ke dalam tas jinjing yang di bawanya. Irene pergi, setelah meninggalkan uang pecahan seratus ribu di meja.

Gadis itu berjalan mengikuti arah ke mana Alluna pergi. Tak jauh dari beberapa deretan toko, memang ada sebuah lapangan parkir yang berada tak jauh dengan pelataran pabrik. Langkahnya yang semula cepat, perlahan melambat saat matanya menangkap sosok berpakaian serba hitam dengan separuh wajahnya tertutupi.

Irene memicing curiga, dengan menambahkan rasa waspadanya. Dia masih terus melangkah dengan hati-hati. Sayangnya, setelah melemparkan sesuatu ke dalam mobil, pria itu segera melesat pergi.

Tak ada reaksi apapun dari dalam mobil membuat Irene kian curiga, langkahnya mendekat pun berhenti tak jauh di belakang mobil hitam milik Alluna. Dari tempatnya berdiri dia hanya bisa mengamati dari kaca spion milik sahabatnya yang melihat Alluna perlahan terpuruk sedih.

Ingin membantu, tetapi mengingat sikap Alluna sebelumnya --membuat Irene mengurungkan diri. Dia akan menunggu saat Alluna yang akan datang padanya  membagi ceritanya sendiri.

●●●

Sudah dua hari Alluna lebih memilih mengurung diri di apartementnya yang minimalis. Entah apa yang dia lakukan --menata hatinya atau sebaliknya, merencanakan pembalasan pada sosok yang kini tengah membuat hatinya kesal.

Masih segar dalam ingatannya, dua hari lalu dia akhirnya berakhir menjadi pengangguran. Memang dia adalah seorang mahasiswa, tetapi dia juga membutuhkan sebuah profesi, dan menurutnya profesinya saat itu sudah cukup membantunya.

Namun, apa daya. Nasi sudah menjadi bubur. Nyatanya dia sudah dipecat.

Ibunya yang sejak tadi mengirim pesan dan menelpon pun dia abaikan. Entahlah, ada rasa belum siap untuk berbicara saat ini. Ibunya adalah wanita teliti dan terlampau memiliki rasa peka yang tinggi. Mencoba membalas atau mengangkat panggilan tersebut --akan membuatnya sulit menutupi. Jangan harap bohong. Karena itu opsi yang paling tidak mungkin.

Kemarin, Irene datang ke apartemennya. Gadis itu datang dengan kantung kecil berisikan alat P3K, Irene bahkan menawarkan diri untuk membantu merawat luka. Meski, akhirnya mundur setelah menerima penolakan darinya.

Tak seperti sebelumnya, Irene tak banyak bertanya. Dia hanya datang dengan obat lalu pergi setelahnya.

Ada rasa gelisah di diri Alluna. Apakah dia telah melukai hati Irene di pertemuan sebelumnya.

●●●

Sudah seluruh apartemen miliknya digeledahnya. Apartemennya berukuran kecil, dengan satu kamar tidur. Sayangnya barang dia yang dia cari tak kunjung dia dapatkan.

Semua isi memorinya telah terhapus tak meninggalkan sisa. Dia hanya berharap jam tangan pintar yang selalu menemaninya akan membantu dia menarik info lebih, tetapi sayangnya barang berwarna merah putih itu tak kunjung terlihat.

"Sial, aku menyimpannya di mana." Alluna mengumpati dirinya sendiri atas sikap teledornya.

Setelah tiga hari berdiam diri dia telah bertekad bulat. Dia akan mencari tahu, siapa sosok yang sering dia sebut Mr yang pernah memberinya pekerjaan. Terdengar lancang, tetapi dia juga tak ingin menyerah setelah pemutusan kontrak sepihak yang dilayangkan kepadanya.

Namun, keadaan tak bersikap baik padanya. Jam tangan yang selama ini menemaninya, yang merupakan satu-satunya barang yang tersisa pun tak dia temukan. Jika begini, dia harus memutar otak untuk membuat rencana kedua.

Ponselnya begetar, sebuah panggilan  masuk. Sayangnya hanya tertera nomor di layar ponselnya. Seingatnya, itu bukan nomor milik ibuny, setelah semua kontaknya hilang dia hanya tahu nomor ponsel kedua orang tuanya.

Masih menimbang sampai akhirnya panggilan itu berhenti. Saat panggilan masuk dengan nomor yang sama, Alluna segera mengangkatnya tanpa pikir panjang.

"Hallo, ini siapa?" tanya Alluna pada seseorang yang di seberang.

"Hai, sialan! Kau tidak menyimpan nomorku, bodoh?!" Sosok di sebarang sana justru membalas dengan memakinya. Alluna kenal baik dengan pemilik suara itu, dan sifat pemilik nomor yang memang barbar.

"Ponselku terreset, aku belum memperbarui kontak," balas Alluna dengan nada malas. Membuat sosok di seberang sana berujar maaf.

"Ada apa?" tanya Alluna lagi, saat hanya diam setelahnya berujar.

"Kapan kau keluar dari kandangmu itu. Kata Irene kau sakit, tetapi dia tak memperbolehkanku mengunjungimu. Apakah kau memiliki penyakit menular?" Alluna tergelak tawa sebentar mendengar kalimat sahabatnya.

"Aku akan berangkat hari ini, dan aku akan mendatangimu pertama kali agar kau turut tertular," ujar Alluna dan langsung mendapat tolakan dari Geisha sahabatnya.

"Yak! Jika aku sakit, aku tak yakin Irene akan mengunjungiku seperti dia mengunjungimu. Tahukah kamu dia terlihat tenang, tetapi dia sangat mengkhawatirkanmu." Alluna diam mendengarkan kalimat Geisha, rasa penyesalan itu kembali ada saat dia tak sengaja membentak sahabatnya itu.

"Hallo, kau masih di sana!" Suara Geisha membuatnya tersadar.

"Biar saja, biar mayatmu membusuk karena tak  ada yang tahu kau mati karena sakit," canda Alluna.

"Yak, kau menyumpahi aku mati?!"

"Aku tutup panggilannya aku akan bersiap."

Tbc

V.I.P  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang