6. Khawatir

484 76 162
                                    

Vote dulu yaw :)

Saat Nashwa berada di ambang pintu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat Nashwa berada di ambang pintu .…

BYURR ....

Dresss ....

Bukan hujan, melaikan semburan air yang sengaja diguyurkan kepada Nashwa saat ia berada di depan rumahnya. Ibu tirinyalah yang melakukan semua ini.

Bila ibu dari anak-anak lain menyambut anaknya yang pulang sekolah dengan senyuman dan menanyakan bagaimana sekolahnya, tetapi Mia mempunyai caranya tersendiri untuk menyambut anak tirinya pulang sekolah yang tak lain dengan awal siksaan atau penderitaan dari seorang Nashwa.

“Bu, hiks … Nashwa baru pulang sekolah, Nashwa cape. Apa gak bisa ibu menunda nafsu ibu untuk menyiksa aku?” Tangis Nashwa pecah saat mengingat semua perlakuan ibunya kepadanya.

“Gak! Sejak pagi saya menahan nafsu saya yang sangat ingin menyeret kamu ke luar dari rumah ini, tapi ayahmu yang menjadi penghalang semua ini,” bentak Mia.

“Jangan sekarang … Nashwa mohon, Nashwa butuh istirahat …,” lirih Nashwa.

“Tidak ada lagi penundaan, ikut saya sekarang!”

Mia menarik tas yang ada di punggung Nashwa, melemparnya asal, lalu ia menarik kerah baju seragam Nashwa dengan kasar. Mia menghempaskan tubuh Nashwa ke lantai sampai kepalanya terbentur tembok.

“Ah … aw … sakit, Bu …,” lirih Nashwa yang tak henti menangis.

Tak lama, terdengar gemuruh petir di telinga Nashwa, hal ini seolah menambah penderitaannya di hari ini. Baru saja ia merasa bahagia dengan Nazwan saat di sekolah, detik ini Nashwa sudah kembali menderita atas fobianya mendengar gemuruh petir, apalagi ditambah dengan siksaan dari ibu tirinya.

Nashwa meremas roknya, ia juga menundukkan pandangannya, tangannya beralih untuk menutup telinganya karena suara gemuruh itu tedengar semakin keras.

“Siksa saya, Bu! Siksa saya sampai saya tidak bisa lagi mendengar suara gemuruh petir ini. Cepat siksa saya semau anda!!” Nashwa menjerit keras dengan perkataan itu, ia menangis sampai air matanya turun deras ke lantai tempat ia duduk saat ini.

“Kenapa anda diam? Cepat siksa saya!” Nashwa lagi-lagi menjerit keras.

Mia hanya diam menyaksikan penderitaan Nashwa. Padahal, Mia tidak melakukan hal lain. Mia hanya senang jika melihat Nashwa menderita dengan sendirinya tanpa ia harus turun tangan untuk membuatnya menderita.

“Saya lebih senang jika melihat kamu menderita dengan fobiamu. Itu artinya, saya tidak perlu mengotori tangan saya untuk melihatmu menderita. Cukup dengan suara petir itu saya bisa tertawa bahagia melihatmu seperti sudah tak waras,” ujar Mia dengan tawa liciknya.

Tangisan dan jeritan yang keluar dari mulut Nashwa semakin menjadi-jadi bersamaan dengan suara petir yang terus menggelegar di telinga Nashwa. Memang benar, saat ini keadaan Nashwa sudah tidak bisa dikenali. Rambutnya yang setengah basah dan berantakan, wajahnya yang pucat disertai air mata yang membasahi seluruh pipinya, bibirnya yang pucat gemetar membuat Mia memanggilnya dengan sebutan ‘tak waras’.

Astrafobia [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang