Vote dulu ya gais :)
-
-
-
Srettt ....
Tubuh Nashwa dihempas begitu saja ke lantai hingga tubuh Nashwa terseret dengan sendirinya. Nashwa kini berada di gudang, tempat yang tidak pernah dibersihkah sejak ibunya meninggal dunia.
Bayangkan! Berapa belas tahun gudang ini tidak terawat? Berapa belas tahun gudang ini ditinggalkan yang kini kotor dan kumuh?
Hempasan Mia tadi membuat tangan Nashwa berdarah karena terkena pecahan keramik di gudang itu. Nashwa meringis kesakitan seraya melihat tangannya yang luka.
“Ma, Nashwa pengin melawan, tapi, Nashwa nggak bisa, hiks …,” batin Nashwa melirih dengan semua ini.
“Diam kamu di sini! Jangan harap bisa keluar!” bentak Mia yang langsung mengunci gudang itu.
Nashwa kedinginan di gudang yang kotor itu, takut dan cemasnya masih menghantui karena saat ini petir masih terdengar jelas di telinganya.
Untung saja, tas sekolah Nashwa masih berada di punggungnya. Itu artinya, ia bisa menghubungi seseorang. Namun, Nashwa takut karena hingga kini petir masih menggelegar.
Nashwa mencoba tenang dengan semua ini, ia menghela napas untuk mengatur ketakutannya. Terngiang di telinganya tentang ucapan Nazwan yang pernah berkata, "bayangkan saja, bahwa petir itu hanya gejala alam biasa!" Nashwa mencoba untuk membayangkan ucapan itu meski rasa takutnya masih terasa begitu dalam.
Akhirnya Nashwa berani untuk mengambil ponsel di tas sekolahnya. Nashwa bingung, siapa yang bisa ia hubungi saat keadaan seperti ini? Tidak ada yang peduli dengannya kecuali Nazwan dan Fani. Nashwa tidak mungkin menghubungi Fani karena jarak rumah mereka sangat jauh. Begitu pun dengan Nazwan. Kini, Nashwa berpikir bahwa Nazwan sedang berada di sekolah untuk persiapan olimpiade dan pelantikan pengurus OSIS.
Nashwa memberanikan diri untuk menghubungi Citra yang sempat ia minta nomernya saat Citra mengantarkannya pulang beberapa hari lalu.
“Kak Citra? Apa dia bisa bantu gue?” gumam Nashwa saat menatap nomer telepon bertuliskan nama Citra.
Nashwa menekan nomer itu untuk menghubunginya.
“Halo? Ada apa, Nashwa?” ucap Citra di seberang telepon sana.
“Kak, hiks … tolong,” lirih Nashwa seraya gemetar.
“Siapa, Kak?!” Terdengar suara laki-laki dari telinga Nashwa, Citra yang sedang memegang ponselnya memberikan ponselnya pada Nazwan.
“Dari siapa?” tanya Nazwan.
“Nashwa.”
Nazwan melotot tak percaya, ia langsung berbicara dengan Nashwa dari seberang telepon. “Nas, lo kenapa? Lo gapapa, 'kan? Kenapa malah hubungi kak Citra? Kenapa bukan gue?” tanya Nazwan bertubi-tubi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Astrafobia [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] Untuk pemesanan buku hubungi WA : 081774845134 Dear Pembaca ... kisah ini bukan kisah edukasi yang bisa membuat wawasan kalian bertambah. Namun, kisah ini menyiratkan sedikit pesan untuk kita ... bahwa orang yang selalu ada...