35. Telepon

210 39 59
                                    

Jangan lupa vote sebelum membaca! :)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa vote sebelum membaca! :)

-

-

-

“Halo?”

Baru saja Nazwan mengucapkan kalimat sapaan untuk seseorang yang meneleponnya tersebut, Nashwa menarik ponsel Nazwan lalu mematikan sambungan telepon dan mematikan daya ponsel Nazwan.

“Nas, lo apa-apaan?!” bentak Nazwan karena perlakuan Nashwa.

“Kan gue udah bilang, jangan angkat telepon! Gue—“

“Gak usah terlalu lebay! Di sini bukan tempat lapang yang bebas untuk tersambar petir. Lagi pula, petir gak selalu menyambar manusia!” tegas Nazwan sekadar memperingati.

Nazwan terbawa emosi. Dirinya tidak bisa menguasai amarah pada Nashwa. Padahal, Nazwan belum tahu siapa yang menghubunginya. Bisa saja panitia olimpiade? Teman-temannya? Atau bahkan pembina OSIS.
Jika telepon itu dari seseroang penting, bagaimana? Nazwan tidak akan mengetahui apa yang terjadi, bukan?

“Wan, Nashwa Cuma—”

“Cuma apa?! Gue udah menghidar dari lo untuk menjawab telepon itu, tapi kenapa malah lo matiin?!” bentak Nazwan dengan sorot mata yang tajam, sangat berbeda dengan sebelumnya.

“Segitunya Nazwan sama gue?” batin Nashwa sedikit menyesal.

Nazwan sedikit menjauh dari keberadaan Nashwa untuk membeli minuman di warung itu. Ia membiarkan begitu saja Nashwa menangis bersama Fani dan Grace di sana dengan ponsel Nazwan yang masih berada di tangan Nashwa.

Nazwan tidak mau jika emosinya tidak bisa ditahan akan beralih pada Nashwa yang menerima semuanya. Karena, Nazwan memang sangat jarang untuk marah, tetapi sekalinya ia marah ia tidak dapat menahannya karena harus ada sesuatu hal yang menjadi pelampiasan amarahnya.

“Fan, gue takut, hiks ….” Suara Nashwa terdengar samar-samar di telinga Nazwan. Nazwan tahu Nashwa sedang menangis karena fobianya.

Nazwan sangat ingin berada di samping Nashwa, tetapi ia juga tidak mau jika Nashwa yang menerima semua imbas dari kemarahannya.

“Nas, balikin hp gue,” pinta Nazwan lembut tanpa merubah posisinya yang hanya melihat Nashwa sedang menangis dalam pelukan Fani.

“Nggak! Hiks …  gue gak mau nasib lo sama kayak Ririn, hiks …,” jawab Nashwa sessenggukan.

“Balikin! Gak akan terjadi apa-apa!” tegas Nazwan, tetapi berusaha menahan amarahnya.

“Wan, udah deh! Gak usah maksa dulu! Lo gak kasihan sama Nashwa?” ucap Fani mendengar keributan mereka berdua.

“Lo mau tanggung jawab kalau misalnya telepon itu penting? Lo mau tanggung jawab kalau orang yang menghubungi gue dalam bahaya dan minta gue agar menolongnya? Lo mau, hah?!” bentak Nazwan pada Fani.

Astrafobia [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang