Vote sebelum membaca, ya! :)
-
-
-
“AAAAA!”
Jeritan itu dikarenakan petir yang tiba-tiba menggelegar setelah beberapa waktu lalu Nashwa tidak lagi mendengar suara itu.
“Nas?!” pekik Nazwan yang langsung memeluk Nashwa kembali.
“Takut ….” Nashwa menangis dalam pelukan Nazwan. Lagi-lagi, jantungnya berdebar kencang karena kali ini Nashwa dan Nazwan seperti tidak berjarak.
“Syutt … Nanasnya Nazwan nggak boleh nangis! Nggak akan ada apa-apa kok.'Kan ada Nazwan di samping Nanas,” ucap Nazwan berusaha menenangkan Nashwa.
“Hiks … mau pulang … Nashwa nggak mau di sini, hiks ….”
Seperti bocah yang takut karena berbagi hal. Sama seperti Nashwa yang selalu ketakutan saat kejadian serupa terjadi di mana pun. Nashwa tidak akan kuat jika ia harus melihat secara langsung kilatan cahaya yang begitu menyeramkan.
Sekitar setengah jam mereka berdua di kedai itu. Nashwa merasakan pegal pada pundaknya karena terlalu lama di pelukan Nazwan.
“Nas, mau sampai kapan terus bersembunyi di balik kehadiran Nazwan? Nanas harus bisa, Nanas harus melawan astrafobia ini!” tegas Nazwan.
Secara tidak langsung, perkataan Nazwan tadi menusuk pada perasaan Nashwa yang berpikir bahwa Nazwan tidak mau memeluknya ketika dalam ketakutan seperti ini. Namun, hal yang Nazwan ucapkan sebenarnya adalah usahan untuknya membantu Nashwa untuk melawan fobia ini.
Bukan Nazwan tidak mau, hanya saja … Nazwan tidak ingin Nashwa terus ketergatungan karena kehadirannya. Bagaimana jika suatu saat Nazwan tidak lagi berada di samping Nashwa? Lalu, bagaimana nasib gadis sang penderita astrafobia yang tinggal di Kota Hujan ini? Tentu saja, akan lebih menyeramkan dari saat ini.
“Nas, aku cuma gak pengin kamu sedih saat aku nggak ada di sampingmu,” jelas Nazwan yang melihat Nashwa seolah memikirkan perkatannya.
“Nazwan mau ke mana? Nazwan gak akan ke mana-mana, 'kan?” lirih Nashwa.
“Nazwan akan selalu ada di samping Nanas. Menemani tawa dan air mata di setiap keluh kesah Nashwa, tapi Nazwan pasti gak akan bisa selalu di samping Nashwa untuk melindungi Nashwa. Makanya, Nashwa harus terbiasa melawan fobia Nashwa,” jelas Nazwan, Nashwa menampilkan senyum paksa.
“Nanas mau pulang,” pinta Nashwa.
“Tapi ... bukannya Nanas mau cari makanan di Kota Batu dulu?” tanya Nazwan ingat dengan keinginan Nashwa.
“Nanas mau pulang!” tegas Nashwa sekali lagi. Nazwan menurut karena ia tak ingin membuat Nashwa sedih ataupun kecewa kepadanya.
“Selamat tinggal Kota Batu, daerah tempat pertama kami memulai kisah. Semoga gue bisa sering ke sini bersama Nazwan,” batin Nashwa yang melihat sekeliling desa itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Astrafobia [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] Untuk pemesanan buku hubungi WA : 081774845134 Dear Pembaca ... kisah ini bukan kisah edukasi yang bisa membuat wawasan kalian bertambah. Namun, kisah ini menyiratkan sedikit pesan untuk kita ... bahwa orang yang selalu ada...